Monday, November 3, 2014

OIKUMENE



BAB I
PENGERTIAN DAN LATAR BELAKANG GERAKAN OIKUMENE
A. Pengertian Oikumene
            Oikumene umumnya dipahami secara terbatas yaitu sebagai suatu istilah yang dipakai untuk perkumpulan lintas denominasi berupa kegiatan-kegiatan atau ibadah bersama, tanpa menekankan tata cara peribadatan atau liturgi dan doktrin gereja tertentu.
Di tengah begitu banyak gereja Kristen dengan pelbagai nama dan sejarah asal-usul, pembentukan dan berdirinya masing-masing, ternyata muncul kata ‘oikoumene’ yang menyatakan kerinduan semua gereja itu untuk mempersekutukan diri dalam semangat kerja sama dan saling membantu. Oikoumene bersal dari dua kata Yunani ‘oikos’ (rumah) dan ‘menein’ (tinggal) yang secara harafiah berarti ‘tinggal bersama dalam satu rumah’. Selanjutnya, pemahaman terhadap kata oikoumene diperluaskan meliputi seluruh dunia dan semua manusia.
Sekalipun dalam arti sempit hendak mengungkapkan suasana bersekutu dan bersaudara dalam lingkungan gereja dan orang Kristen. Secara populer dipahami di tengah jemaat-jemaat Kristen, bahwa ‘oikoumene’ adalah apabila selaku orang yang sama-sama mengakui Tuhan Yesus dan Juru selamat dapat mengusahakan kerja sama dan persekutuan anak-anak dari satu Bapa.
            Dalam pemahaman yang lebih luas, bahwa manusia yang berada di dalam dunia yang sama, memiliki latar belakang budaya dan agama yang berbeda-beda (majemuk), karena itu oikumene menjadi dasar pendekatan bagi hubungan persekutuan dalam kemajemukan tersebut.  Disini budaya dan agama tertentu tidak lebih menonjol dan lebih utama, tetapi kemajemukan itu secara bersama-sama memberi tempat bahkan mengupayakan apa yang menjadi kepentingan bersama/umum.
            Dalam kekristenan, oikumene dapat dimaknai sebagai upaya untuk mempersatukan orang-orang Kristen lintas denominasi di dalam satu kesatuan tubuh Kristus untuk secara bersama-sama melaksanakan misi Tuhan bagi dunia.
B. Latar Belakang Gerakan Oikumene
Para ahli sejarah gereja cenderung memilih konperensi Pekabaran Injil Sedunia di Edinburgh 1910, sebagai titik mula lahirnya gerakan Oikumene Internasional. Walaupun sebenarnya Gerakan Oikumene sudah dirintis pada zaman Reformasi bahkan sebelumnya, di mana gereja-gereja di Eropa mulai mengadakan pendekatan untuk mewujudkan kesatuannya. Tetapi jika diselidiki lebih jauh, sebenarnya sebelum konperensi Edinburgh 1910, pergerakan Oikumene baru dirintis oleh beberapa negara dan belum dalam kategori Internasional.




Nantinya pada konperensi Edinburgh baru dapat dikatakan Internasional, karena terdiri dari berbagai negara di dunia dan diikuti oleh 1200 delegasi dari 159 Badan Misi. Salah satu yang berhasil disimpulkan dalam konperensi itu yakni mengenai kerja sama dan pemupukan keesaan. Hal ini juga membawa gereja yang muda untuk memikirkan ke arah gereja yang dewasa. Hal-hal ini penting bagi gerakan keesaan gereja di kemudian hari, khususnya untuk gereja-gereja di Indonesia yang masih muda.
          Pada tanggal 22 Agustus 1948 diadakan pembentukan DGD di Amsterdam, yang merupakan penggabungan dari Gerakan Life and Work dan Gerakan Faith and Order. Dewan ini mengadakan sidang raya I yang dihadiri oleh 351 utusan dari 147 gereja dan di dalamnya termasuk perutusan dari Indonesia.

BAB II
OIKUMENE DALAM PERSPEKTIF ALKITAB
           Dalam pengamalan kehidupan gereja, tugas gereja tak hanya mengurus urusan di sorga, sesudah orang meninggal dunia, tetapi juga mengurus urusan di dunia, selagi orang masih hidup sekarang ini. Itulah sebabnya, gereja juga terpanggil untuk ikut serta membangun bangsa, negara dan masyarakat, di mana gereja itu ditempatkan Tuhan. Keterlibatan dalam pembangunan benar-benar dinampakkan; kepedulian terhadap masalah kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan juga dinyatakan; sikap kritis terhadap masalah keadilan, pemerataan dan kesejahteraan ditampilkan, karena memang begitu seharusnya kehidupan gereja dan orang-orang Kristen yang menjadi anggotanya. Landasannya: pesan Tuhan Yesus, agar apa yang telah dilakukan-Nya dilanjutkan oleh para pengikut-Nya (Lukas 4:18-21; Yohanes 13:12-17).
           Berikutnya, gereja Kristen bukan lembaga eksklusif atau isolatif, yang menutup diri dan tidak berhubungan dengan pihak-pihak lain, sebaliknya, bahwa gereja Kristen itu inklusif dan partisipatif, terhisap dan terlibat dalam menganggulangi problem-problem sosial kemasyarakatan bekerja sama dengan pihak-pihak lain, baik pemerintah, maupun kelompok-kelompok masyarakat yang lain.
Dengan memperhatikan prinsip hidup dan hakekat gereja Kristen, maka gereja Kristen adalah mitra pemerintah dan mitra kelompok-kelompok masyarakat dalam kaitan dengan hal-hal yang konstruktif.
          Selanjutnya, secara khusus dan sempit hendak difokuskan perhatian kita kepada lingkungan gerejawi dan Kristiani dari gereja Kristen itu sendiri. Maksudnya siapa dan bagaimana gereja itu dan siapa dan bagaimana kelompok Kristen itu.


Hal ini penting, mengingat ada begitu banyak denominasi (aliran) gereja, padahal semuanya menyatakan diri sebagai kelompok Kristen. Untuk orang Kristen sendiri sering ‘merk’ gereja yang begitu banyak amat membingungkan, apalagi untuk orang non-Kristen. Itulah sebabnya perlu ada penjelasan tentang ” banyak anggota tetapi satu tubuh”
A. Banyak Anggota, Tetapi Satu Tubuh
          Pesan dalam Alkitab sudah jelas, bahwa tubuh Kristus hanya satu saja, sedang anggota-anggotanya banyak dan semuanya dipersatukan dalam satu Tuhan, satu iman dan satu baptisan (I Korintus 12:12-27; Efesus 4:3-6). Juga Tuhan Yesus melukiskan persekutuan itu dalam perumpamaan pokok anggur yang benar dengan ranting-rantingnya (Yohanes 15:1-8); kawana domba yang dipimpin oleh seorang Gembala yang baik yakni Tuhan Yesus sendiri (Yohanes 10:10b-14); Ia pun mendoakan, ‘supaya semuanya menjadi satu’ (Yohanes 17:21).
          Dalam wujud gereja dan kesatuan-kesatuan organisasi gereja, ternyata sejarah mencatat ada begitu banyak kesatuan organisasi gereja di dunia dan di Indonesia, sehingga sering membuat orang bertanya: kenapa gereja tidak satu saja organisasinya? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita perlu menelusuri jejak-jejak sejarah gereja sejak zaman dahulu sampai zaman sekarang ini. Boleh dikatakan, bahwa gereja memang mengalami proses kehidupan yang tidak selalu mulus. Ada banyak persoalan dan pergumulan yang susul-menyusul, sehingga membentuk berdasarkan pokok-pokok ajarannya masing-masing adanya denominasi (aliran) gereja. Itulah yang kemudian diwariskan kepada kita yang hidup pada masa kini.
Kita bayangkan, bahwa gereja mengalami pergumulan ajaran gereja sejak tahun-tahun permulaan kehadiran gereja. Kita mengenal tokoh-tokoh seperti Augustinus, Origenes, Tertullianus, Athanasius dll., dengan kemahirannya masing-masing dalam menghayati ajaran gereja. Lalu tersusunlah Pengakuan Iman Rasuli pada sekitar abad IV Masehi. Kemudian sampailah pada Skisma (Perpecahan) Pertama pada tahun 1054 dan terbentuk gereja Yunani Katolik dan Roma Katolik dengan kekhususannya masing-masing. Pada tanggal 31 Oktober 1517 Martin Luther memulai Reformasinya dengan memasang 95 dalil di pintu gereja Wittenberg di Jerman dan muncul aliran Protestan. Lalu pada tahun 1534 hadir gereja Anglican yang tidak berangkat karena perbedaan ajaran, tetapi usaha Raja Henry VIII dalam memikirkan suksesi bagi takhtanya. Sesudah itu bermunculanlah aliran-aliran gereja baru di kalangan kaum Protestan, sehingga makin ramailah suasana kehidupan gereja Protestan dan orang lain menyebutnya sebagai ‘penyakit Protestanisme’ yakni perpecahan demi perpecahan. Maka kita mengenal aliran-aliran seperti Lutheran, Calvinis dengan Reformed dan Re-reformed (Gereformeerd)-nya, Baptis, Methodis dengan perpecahan berikutnya Bala Keselamatan, Pentakosta, Adven, Injili dll.




B. Keesaan Gereja itu secara rohani
           Pandangan ini sejalan dengan pernahaman akan arti Gereja yaitu adanya Gereja yang kelihatan dan Gereja yang tidak kelihatan. Gereja yang sesungguhnya yang terdiri dari orang yang percaya kepada Tuhan Yesus, sudah mempunyai satu kesatuan dalam Kristus. Jadi keesaan yang sesungguhnya adalah bersifat rohani.
Keesaan Gereja terletak dalam berkata dan berbuat
Seperti yang difirmankan dan diperbuat oleh Bapa dan Anak; atau dengan kata lain, kesatuan dalam karya/tugas sesuai dengan kehendak Bapa dan Anak. Kesatuan orang beriman atau kesatuan Gereja, jikalau itu adalah kesatuan seperti yang dirindukan oleh Kristus di dalam doaNya, maka itu terletak di dalam berkata-kata dan berbuat seperti apa yang difirmankan dan diperbuat oleh Bapa dan Anak.
C. Keesaan Gereja Yang Rohani
          Dalam mengungkapkan secara menyeluruh kekayaan Alkitab dan pemahaman teologis mengenai Oikumene adalah terlalu luas untuk menjangkaunya. Oleh sebab itu pembahasan selanjutnya akan dibatasi dengan hanya melihat penggunaan istilah Oikumene dan meneliti beberapa bagian Alkitab yang membicarakannya serta implikasinya bagi Gereja. 
           Kata Oikumene dalam Alkitab dipergunakan beberapa kali. Dalam septuaginta, kata Oikumene diterjemahkan dari bahasa Ibrani untuk kata dunia atau bumi. Sedangkan dalam Perjanjian Baru sendiri setidaknya ada 15 kali dipergunakan. Kata Oikumene kadang-kadang dipergunakan dalam arti politis penuh, artinya seluruh wilayah kekaisaran Romawi (Lukas 2:1, bandingkan Kis. 11:28; 19:27; 24:5). Pada bagian lain kata Oikumene diartikan secara teologis penuh, yaitu seluruh dunia yang akan ditaklukkan di bawah pemerintahan Kristus (Ibrani 2:5). Tetapi pada dasarnya kata Oikumene berarti seluruh dunia yang didiami. Injil diberitakan di seluruh dunia/oikumene (Mat. 24:14). Dunia/oikumene dihakimi oleh Yesus Kristus (Yoh 3:17, band. Lukas 21:26). Kerajaan dunia/oikumene ditunjukkan kepada Yesus oleh setan (Lukas 4:5). Demikian juga bagian-bagian lain (Kis. 17:6; Roma 10:18; Ibrani 1:6; 2:5; Wahyu 3:10; 12:9; 16:14) diulang, atau pengembangan dari arti di atas.
Yohanes 17:21 supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam Kita, supaya dunia percaya, bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku




17:22 Dan Aku telah memberikan kepada mereka kemuliaan, yang Engkau berikan kepada-Ku, supaya mereka menjadi satu, sama seperti Kita adalah satu:
17:23 Aku di dalam mereka dan Engkau di dalam Aku supaya mereka sempurna menjadi satu, agar dunia tahu, bahwa Engkau yang telah mengutus Aku dan bahwa Engkau mengasihi mereka, sama seperti Engkau mengasihi Aku.
Doa Yesus diatas yang menjadi landasan kita akan semangat Oikumene, dimana kita umat yang percaya adalah satu Kesatuan. Dalam kesatuan inilah Tuhan memberikan KemuliaaNya kepada kita dan menjadi sempurna di dalam Dia.
Dalam Surat Rasul Paulus dan surat Rasul Yakobus menasihati kita, akan pentingnya Kesatuan Umat, karena yang mempersatukan kita adalah satu Tuhan, satu Allah dan satu Baptisan. tanpa perpecahan melainkan supaya kita erat bersatu , sehati sepikir.
Efesus
4:3 Dan berusahalah memelihara kesatuan Roh oleh ikatan damai sejahtera:
4:4 satu tubuh, dan satu Roh, sebagaimana kamu telah dipanggil kepada satu pengharapan yang terkandung dalam panggilanmu,
4:5 satu Tuhan, satu iman, satu baptisan,
4:6 satu Allah dan Bapa dari semua, Allah yang di atas semua dan oleh semua dan di dalam semua.
I Korintus
1:10. Tetapi aku menasihatkan kamu, saudara-saudara, demi nama Tuhan kita Yesus Kristus, supaya kamu seia sekata dan jangan ada perpecahan di antara kamu, tetapi sebaliknya supaya kamu erat bersatu dan SEHATI SEPIKIR. 
Yakobus 4:1
Dari manakah datangnya sengketa dan pertengkaran di antara kamu? Bukankah datangnya dari hawa nafsumu yang saling berjuang di dalam tubuhmu?
Tetapi Kesatuan Umat ini bukan menjadi hal yang mudah dilakukan, perselisihan antar Golongan (denominasi) sudah terjadi sejak zaman para Rasul. Dan itu menjadi tantangan bagi kita semua  
I Korintus
1:11 Sebab, saudara-saudaraku, aku telah diberitahukan oleh orang-orang dari keluarga Kloe tentang kamu, bahwa ada PERSELISIHAN di antara kamu.

1:12 Yang aku maksudkan ialah, bahwa kamu masing-masing berkata: Aku dari golongan Paulus. Atau aku dari golongan Apolos. Atau aku dari golongan Kefas. Atau aku dari golongan Kristus.
1:13 Adakah Kristus terbagi-bagi? Adakah Paulus disalibkan karena kamu? Atau adakah kamu dibaptis dalam nama Paulus?
Lalu apakah Golongan-golongan / Aliran dalam Kristen itu Tidak Boleh, disini kita melihat realitas jemaat mula-mula, dimana golongan-golongan diantara mereka pun muncul, namun itu bukan menjadi Halangan Bagi kesatuan Umat di dalam Kristus. Tetapi menjadi khasana Gereja itu sendiri di dalam Tubuh Kristus.
I Korintus
3:4 Karena jika yang seorang berkata: "Aku dari golongan Paulus," dan yang lain berkata: "Aku dari golongan Apolos," bukankah hal itu menunjukkan, bahwa kamu manusia duniawi yang bukan rohani?
3:5. Jadi, apakah Apolos? Apakah Paulus? Pelayan-pelayan Tuhan yang olehnya kamu menjadi percaya, masing-masing menurut jalan yang diberikan Tuhan kepadanya.
3:6 Aku menanam, Apolos menyiram, tetapi Allah yang memberi pertumbuhan.
3:7 Karena itu yang penting bukanlah yang menanam atau yang menyiram, melainkan Allah yang memberi pertumbuhan.
3:8 Baik yang menanam maupun yang menyiram adalah sama; dan masing-masing akan menerima upahnya sesuai dengan pekerjaannya sendiri.
3:9 Karena kami adalah kawan sekerja Allah; kamu adalah ladang Allah, bangunan Allah.
Golongan-golongan itu bukanlah memecah belah dan menjadi batu sandungan tetapi golongan2 itu memiliki caranya tersendiri untuk mengenal Allah, layakanya dalam analogi Paulus berkata : Paulus yang menanam dan Apolos yang menyirami.. mereka ada untuk membantu mengenal Allah tetapi Allah lah sendiri yang membangun itu ...
dalam kalimat : "yang penting bukanlah yang menanam atau yang menyiram, melainkan Allah yang memberi pertumbuhan" dan "Pelayan-pelayan Tuhan yang olehnya kamu menjadi percaya, masing-masing menurut jalan yang diberikan Tuhan kepadanya. "
Yang penting bukan Denominasi atau golongan2 itu tetapi Allah itu sendiri, apabila dengan denominasi itu atau golongan atau hamba Tuhan itu kita menjadi percaya akan Allah maka untuk Allah semata.


disini pula disebutkan kalau dari Hamba Tuhan ini sehingga kita percaya Allah, masing-masing menurut jalan yang diberikan kepadaNya, menunjukan kalau di tiap golongan atau hamba Tuhan ini adaJALAN nya sendiri atau CARA nya Sendiri.... Yang penting disini setiap golongan ada untuk kemuliaan Allah sesuai jalan dan caranya masing-masing sesuai dengan Allah yang sudah beri jalan pada setiap golongan itu. TANPA ADA PERSELISIHANkarena setiap golongan dipersatuan oleh satu Kristus, satu penebusan dan satu baptisan.
Hal ini diperkuat dalam 2 ayat dibawah ini, yang menunjukan Kesatuan Umat (Tubuh Kristus) bukanlah kesatuan Lembaga Dunia tetapi Kesatuan di dalam Tuhan dan Roh yang sama.
Roma
12:4 Sebab sama seperti pada satu tubuh kita mempunyai banyak anggota, tetapi tidak semua anggota itu mempunyai tugas yang sama,
12:5 demikian juga kita, walaupun banyak, adalah satu tubuh di dalam Kristus; tetapi kita masing-masing adalah anggota yang seorang terhadap yang lain.
Efesus 4:16
Dari pada-Nyalah seluruh tubuh, rapih tersusun dan DIIKAT MENJADI SATU OLEH PELAYANAN semua bagiannya, sesuai dengan kadar pekerjaan tiap-tiap ANGGOTA--menerima pertumbuhannya dan membangun dirinya dalam kasih.
Tubuh Kristus adalah Gereja itu sendiri, dan dari banyak anggota tubuh dengan fungsi(CARA) nya masing-masing diikat menjadi SATU oleh PELAYANAN... dan tiap-tiap anggota menerima pertumbuhanya sendiri dalam KASIH.. tangan pasti ada caranya sendiri untu membuat tubuh Eksis begitupun Mata dan seterusnya... 
D. Keesaan Menuju Kedewasaan Iman
           Orang Kristen dipanggil untuk mendemonstrasikan perbuatan yang sesuai seperti difirmankan Tuhan sehingga tercipta kesatuan asasi. Firman Tuhan dilandaskan menurut Efesus 4:1-16, di mana bagian ini juga sering dipergunakan para ahli/tokoh Oikumene dalam membahas mengenai Keesaan Gereja.
Keesaan (=kesatuan) Gereja adalah pekerjaan Roh Kudus. Hanya pekerjaan Roh Kudus sendiri yang memungkinkan kesatuan itu terwujud. Pengalaman dalam kesatuan ini hanya memungkinkan di antara mereka yang telah diterangi dan didiami oleh Roh Kudus (ay. 2-3, band. I Kor. 12:12-13). Pada dasarnya kesatuan yang dikerjakan oleh Roh Kudus itu tidak terlihat, bersifat rohani. Tetapi hal itu kemudian akan diungkapkan secara nyata, terlihat melalui persekutuan di antara orang percaya.

Dalam mencapai keesaan di antara orang percaya, maka hal pertama harus dimiliki oleh orang Kristen adalah kerendahan hati (ay. 2). Dengan, kerendahan hati akan mengantar seseorang untuk lemah lembut dan sabar; selanjutnya dalam kasih akan membawa kerja sama di antara orang percaya, karena kasih itu tidak mementingkan diri sendiri, tetapi mau toleransi dengan yang lain (I Kor. 13:4-7).
           Kesatuan di antara orang percaya/Gereja bukan merupakan tujuan akhir, melainkan kesatuan itu mempunyai tujuan untuk pengembangan pelayanan yaitu pembangunan tubuh Kristus. Jadi keesaan itu dapat terwujud dalam kepelbagaian karunia (ay. 11-12). Kesatuan dalam iman dibutuhkan untuk menuju kedewasaan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus. Dalam perwujudan keesaan, Gereja perlu pengenalan yang lebih mendalam tentang Kristus, supaya dapat bertumbuh bersama dan tetap diikat dalam suatu pelayanan yang dihangatkan dalam kasih Kristus, yang memungkinkan pertumbuhan setiap anggota menuju kedewasaan iman (Ef 4:13-16)

BAB III
SEJARAH PERKEMBANGAN GERAKAN OIKUMENE

A. Perkembangan Gerakan Oikumene Dunia
          Dalam wujud gereja dan kesatuan-kesatuan organisasi gereja, ternyata sejarah mencatat ada begitu banyak kesatuan organisasi gereja di dunia dan di Indonesia, sehingga sering membuat orang bertanya: kenapa gereja tidak satu saja organisasinya?
 Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita perlu menelusuri jejak-jejak sejarah gereja sejak zaman dahulu sampai zaman sekarang ini. Boleh dikatakan, bahwa gereja memang mengalami proses kehidupan yang tidak selalu mulus. Ada banyak persoalan dan pergumulan yang susul-menyusul, sehingga mencari bentuknya  berdasarkan pokok-pokok ajarannya masing-masing, sehingga kemudian muncul adanya denominasi (aliran) gereja. Itulah yang kemudian diwariskan kepada kita yang hidup pada masa kini.
          Gereja mengalami pergumulan ajaran gereja sejak tahun-tahun permulaan kehadiran gereja. Kita mengenal tokoh-tokoh seperti Augustinus, Origenes, Tertullianus, Athanasius dll., dengan kemahirannya masing-masing dalam menghayati ajaran gereja. Lalu tersusunlah Pengakuan Iman Rasuli pada sekitar abad IV Masehi. Kemudian sampailah pada Skisma (Perpecahan) Pertama pada tahun 1054 dan terbentuk gereja Yunani Katolik dan Roma Katolik dengan kekhususannya masing-masing. Pada tanggal 31 Oktober 1517 Martin Luther memulai Reformasinya dengan memasang 95 dalil di pintu gereja Wittenberg di Jerman dan muncul aliran Protestan. Lalu pada tahun 1534 hadir gereja Anglican yang tidak berangkat karena perbedaan ajaran, tetapi usaha Raja Henry VIII dalam memikirkan suksesi bagi takhtanya.


Sesudah itu bermunculanlah aliran-aliran gereja baru di kalangan kaum Protestan, sehingga makin ramailah suasana kehidupan gereja Protestan dan orang lain menyebutnya sebagai ‘penyakit Protestanisme’ yakni perpecahan demi perpecahan. Maka kita mengenal aliran-aliran seperti Lutheran, Calvinis dengan Reformed dan Re-reformed (Gereformeerd)-nya, Baptis, Methodis dengan perpecahan berikutnya Bala Keselamatan, Pentakosta, Adven, Injili dll.
Sesudah hadir begitu banyak gereja dengan namanya masing-masing, maka datanglah kerinduan untuk bersekutu dalam wadah oikoumenis. Maka muncullah World Council of Churches (Dewan Gereja Se-Dunia, DGD) pada tahun 1948 di Amsterdam, negeri Belanda, sebagai wadah gereja-gereja  yang bersatu. Dalam perkembangan ternyata muncul pula International Council of Churches (Dewan Gereja Internasional), yang tentu saja mengurangi makna kebersatuan semua gereja Kristen di dunia ini. Tak juga boleh dilupakan munculnya World Alliance of Refoormed Churches (WARC), Reformed Ecumenical Synod (REC), Lutheran World Federation (LWF) yang mengharubirukan suasana oikoumenis yang mendunia menjadi tersekat-sekat kembali. Dalam tingkat regional hal itu kita jumpai dalam wujud Christian Conference of Asia (CCA) dan tentu juga ada ikatan-ikatan gereja di benua-benua yang lain yang dibentuk karena alasan geografis.

B. Perkembangan Gerakan Oikumene Di Indonesia
1. Usaha Kalangan Zending 
           Sebagaimana halnya kemandirian, juga gerakan keesaan gereja banyak ditentukan oleh perkembangan oikumenis di kalangan pekabaran Injil sedunia. Juga dalam gerakan ini peran pihak Zending cukup menentukan, khususnya pada periode sebelum Perang Dunia II. Dalam hal itu gerakan keesaan gereja di Indonesia ini pertama-tama harus ditempatkan pada sejarah lahirnya gereja-gereja di Indonesia, yang sejak semula telah bertumbuh berdiri sendiri-sendiri dan diasuh oleh masing-masing badan Zendingnya.
Selain jemaat yang lahir dari pekerjaan misi Katolik pada zaman Portugis, yang kemudian sebagian besarnya menjadi Gereja Protestan setelah diambil alih oleh pihak VOC Belanda, lahir pula jemaat yang dihasilkan oleh pekerjaan berbagai badan Zending dari Barat yang bekerja secara sendiri-sendiri dan di tempat yang terpisah–pisah, terutama pada abad ke-19. Kebanyakan badan Zending tersebut tidak merupakan badan dari suatu lembaga gereja tertentu sehingga tidak mewakili suatu bentuk gereja tertentu. Tetapi faktor pembeda yang cukup penting adalah berdirinya gereja-gereja di Indonesia sebagai gereja suku atau gereja daerah. Sebab itu gerakan keesaan gereja di Indonesia tidak bersifat penggabungan kembali (reunion), melainkan dalam kesejajaran dengan pergerakan nasional Indoensia berurusan dengan batas-batas suku dan daerah.

2. Nederlandsch-Indische Zendingsbond (NIZB) 
          Secara konkret gerakan keesaan di Indonesia dimulai dengan pembetukan suatu badan pertemuan para pekabar injil, Nederlandsch-Indische Zendingsbond (NIZB), pada tahun 1881, atas prakarsa Ds. A.J. Schuurman (1830-1881).



Makna oikumenis NIZB terdapat dalam empat hal:
(1) Pelembagaan Konferensi-konferensi zending secara berkala
(2) mengambil alih penerbitan De Opwekker (terbit 1855-1941), yang menjadi media pertukaran informasi dan pemikiran serta memuat laporan konferensi-konferensi NIZB
(3) karya komisi bacaannya
(4) pelayanan komisi pemudanya.

NIZB adalah suatu wadah bagi para pekabar Injil Barat yang bekerja di Indonesia; baru kemudian hari terdapat beberapa anggota orang Indoensia. Organisasi ini memberi peluang bagi para pekabar Injil Barat (merekalah yang berperan sertal dalam kehidupan dan perkembangan gereja di Indonesia) untuk mengembangkan kebersamaan menjalankan panggilannya di Indonesia. Berdasarkan pengalamannya, seorang pendeta zending menunjuk adanya pertemuan antara kalangan “Protestan” (Hervormd) dengan “Gereformeerden” dalam NIZB, yang bisa menghasilkan saling pengertian:
Pertemuan ini, percakapan-percakapan,  kontak yang lebih mendalam antara orang-orang dari berbagai denominasi atau (dengan terus terang) antara “Protestanten” dan “Gereformeerden”, nyatalah sangat penting. Khususnya yang terakhir, saya secara pribadi sangat terdorong: baiklah kita bertemu dan saling mendengarkan secara tenang dan mendasar untuk saling mengerti dalam hal yang terdalam dan terbaik dalam kehidupan kita. Bukan apa yang memisahkan kita, melainkan apa yang pada dasarnya menjadikan kita satu, adalah yang paling penting dan dari situ kita sama membangun. Jika tidak secara sadar dan dengan usaha yang bersungguh-sungguh terus bekerja ke arah itu, saya yakin benar bahwa karya penginjilan Protestan di negeri-negeri ini akan mengalami banyak kerugian rohani. 
B.J. Boland, yang banyak berkecimpung dalam pembentukan wadah oikumenis di Indonesia, menyinpulkan dua sifat pengaruh NIZB terhadap kerja sama oikumenis di Indonesia, yaitu secara negatif, suatu pencegahan menguatnya pertentangan antara denominasi yang dibawa dari negeri Belanda, dan secara positif, pembentukan beberapa kemungkinan yang kemudian akan jelas bermakna bagi munculnya suatu kerjasama oikumenis di Indonesia. 
Wadah oikumenis lainnya, yang penting bagi perkembangan gerakan keesaan gereja di indonesia, adalahZendingsconsulaat (ZC) yang dilembagakan sejak tahun 1906, dengan fungsi menjadi penghubung kalangan Zending dengan pemerintah. Secara resmi perwakilan Zending diangkat oleh NBG.
Wadah ketiga adalah Samenwerkende Zendingscorporaties (SZC) yang didirikan pada tahun 1908 (di bidang pendidikan sudah sejak 1905) di egeri Belanda di mana bergabung badan-badan Zending NAG, UZV, STC, dan kemudian juga NZV (1923) dan JC (1931).
Dan pada tahun 1929 dibetuk Nederlandsche Zendingsraad (NZR), juga di Negeri Belanda, sesuai tuntutan kebutuhan pekerjaan pekabaran Injil di Indonesia. 




Konferensi NIZB pada tanggal 21 September 1928 di Bandung, yang membicarakan Konferensi Pekabaran Injil Sedunia di Yerusalem, memutuskan membentuk sebuah panitia untuk mempersiapkan pembentukan Nederlands-Indische Zendingsraad (NIZR, Dewan Pekabaran Injil Hindia Belanda), dengan anggota-anggota Dr. H.A. van Andel, Ds. W.F. Breyer, Prof.Mr.J.M.J. Scheper, Dr.B.M. Schuurman dan sebagai sekretarisnya, Dr. N.A.C. Slotemaker de Bruïne. Setelah berapat pada tahun 1929 dan 1930, panitia melaporkan pada konferensi yubileum NIZB bulan September tahun 1931, bahwa pembentukan NIZR belum dapat diwujudkan. Dengan itu suatu dewan Kristen nasional (National Christian Council), sesuai kecenderungan kalangan IMC, belum dapat diwujudkan di Indonesia. Kendala utama berkaitan denganmasalah di Negeri Belanda, di mana pihak Gereformeerd menolak menjadi anggota NZR karena keanggotaan NZR pada IMC. Kemudian konferensi menyarankan pembentukan dewan-dewan lokal dengan tetap mengarah pada suatu dewan nasional: 
Rapat menyatakan keinginan, bahwa dibentuk sebanyak mungkin dewan-dewan pekabaran Injil setempat. Prakarsa untuk itu dilakukan sendiri di masing-masing daerah.
Rapat memohon kepada pengurus NIZB untuk membentuk suatu komisi yang
a) akan mempelajari masalah-masalah aktual tertentu,
b) mempelajari dengan cara bagaimana kesatuan di kalangan pekerja-pekerja Zending di Hindia Belanda dapat ditingkatkan, juga supaya akhirnya dapat didirikan suatu Dewan Pekabaran Injil Hindia Belanda. Juga akan dipelajari, apakah dan sejauh mana Dewan Pekabaran Injil Sedunia dapat dipengaruhi sehingga keberatan, yang ada dari beberapa pihak terhadap dewan ini, dapat dijauhkan. 
Di Makassar terbentuk suatu Locale Zendingsraad (LZR), yang melakukan pertemuan-pertemmuan berkala sampai tahun 1942.
Di Jawa terdapat dua LZR, masing-masing untuk pekerja Zending Eropa (Javaansche Zendingsraad) dan untuk orang Kristen Jawa  (Javaanse Christenraad). Tokoh di balik kedua Dewan Jawa ini adalah Dr. B.M. Schuurman, yang mendorong hubungan-hubungan antar orang Kristen pribumi demi terciptanya suatu ontak oikumenis di antara orang Kristen Indonesia. Salah satu hasilnya adalah besarnya rasa tanggungjawab terhadap sesama orang Kristen dari gereja lain pada masa perang.
Di Sumatera, pembentukan suatu dewan pekabaran Injil lokal juga dibicarakan, tetapi tidak sempat terbentuk. Laporan-laporan pada tahun 1930-an mengenai dewan-dewan yang terbentuk tidak memperlihatkan perkembangan. 
Seperti yang sudah diuraikan dalam bab lalu, pelayanan kepada para pemuda dalam Komisi Pemuda NIZB turut berperan pentingmemunculkan suatu kenyataan baru dalam sejarah kekristenan di Indonesia. Bersama dengan kenyataan-kenyataan lain yang sezaman, seperti penyiapan tenaga-tenaga Indonesia, kemandirian gereja-gereja dan pendidikan teologi (HTS), Boland menyebutnya een nieuwe stuk geschiedenis (suatu bagian baru sejarah) atau nieuwa geschiedenis (sejarah baru), yakni peralihan dari aspek Belanda ke aspek Indonesia dalam sejarah kekristenan di Indonesia: 


Kita memakai “sejarah baru” di sini dalam arti yang lain, yaitu perkembangan hal-hal di mana akar-akarnya tidak kembali pada “segi Belanda”, melainkan pada “segi Indonesia”.
Selanjutnya, dengan nada bersemangat Boland mencatat perkembangan-perkembangan yang menandai sejarah baru itu: 
Gerakan pemuda Kristen timbul. Para pemimpin dibina, bagi pelayanan pemuda Kristen, tetapi mereka juga tampil dalam bidang lain. Prakarsa Indonesia sendiri bertumbuh. Oikumene masuk ke dalam cakrawala sebagian dari kekristenan Indonesia. Pemimpin-pemimpin teologis dan gerejawi dididik. Gereja-gereja muda mulai berdiri sendiri. Singkatnya: permulaan dari suatu perubahan mendasar wajah dunia gerejawi Indonesia! 

3. Dari Zending ke Gereja 
Tahun-tahun 1930-an merupakan pula dasa warsa pertama kemandirian gereja-gereja di Indonesia. Hubungan antara proses kemandirian dan gerakan oikumene digambarkan oleh Boland dengan kata-kata kunci: mogelijkheden en voorwaarden (kemungkinan dan persyaratan) dan noodzakelijkheid (keharusan). Pandangannya demikian: Gerakan oikumene adalah soal gereja-gereja. Garis peralihan dari “aspek Belanda” kepemimpinan Zending ke oikumenisitas Indonesia dari kelompok-kelompok Kristen Indonesia tidak dapat ditempuh jika tahap kemandirian gereja-gereja tidak terwujud. Permulaan baru dari “aspek Indonesia” pada satu pihak menjadikan kemandirian gereja-gereja suatu keharusan, dan pada lain pihak justru kemandirian itu suatu kesempatan untuk berkembang, lepas dari perbedaan-perbedaan denominasi di Negeri Belanda. Tetapi juga keharusan gerakan oikumene dibentuk oleh kemandirian ini. Keterarahan kepada masing-masing kenyataan pada akhirnya membentuk titik temu utuk saling membantu dan kerjasama. Boland menyimpulkan: 
Jadi kesimpulan kita demikian, bahwa dalam perkembanganmenuju kerjasama oikumenis di Indonesia menurut segi Indonesianya kemandirian gereja-gereja menduduki tempat penting. Ini dapat dianggap sebagai suatu syarat yang harus terpenuhi supaya ooikumenisitas ini dapat tercapai. Dan perkembangan ini  mengandung janji-janji besar, asalkan orang sanggup melihat setelah perwujudan kemandirian ini masalah-masalah dengan bijaksana dan, sesuai dengan itu, bertolak dari suatu sikap kritis ke dalam, bekerja keras untuk percakapan oikumenis yang perlu dari gereja-gereja dan untu peresapan pemikiran oikumenis ke dalam Jemaat. 
Walaupun Boland agak mengidealisir perkembanganya, perutusan ke Konferensi Pekabaran Injil Sedunia memperlihatkan pertumbuhan kepemimpinan Kristen Indonesia. Konferensi Dewan Pekabaran Injil Sedunia memperlihatkan pertumbuhan kepemimpinan Kriseten Indonesia. Konferensi Dewan Pekabaran Injil Sedunia tahun 1928 di Yerusalem hanya dihadiri seorang Kristen Indonesia, T.S.G. Moelia. Tetapi pada konferensi berikutnya, tahun 1938 di Tamburam, sudah tercatat lebih banyak orang Kristen Indonesia,yakni:




Dr.J. Leimena, Mr. Soetjipta, Mr. .L. Fransz, R.M. Luntungan, Pouw Boen Giok, Ds. Mas Mardjo Sir, Ds.B. Moendoeng, Ny. Moendoeng, P. Sitompoel, Ds. W.H. Tuatuarima dan dr. Wardojo.
Kenyataan ini menandai meningkatnya keterlibatan orang Indonesia dalam kepemimpinan gereja, yang berkaitan dengan proses kemandirian gereja-gereja di Indonesia. 
Konferensi Dewan Pekabaran Injil Sedunia di Tambaram terutama terkenal karena memperhadapkan pewartaan Krisen yang eksklusif kepada agama-agama bukan Kristen. Bahan persiapan dipercayakan kepada Hendrik Kraemer, yang menulis bukunya yang masyhur The Christian Message in a Non-Christian World
Tetapi selain tekanan yang Injili itu, Konferensi Tambaran juga memberi perhatian yang besar pada gereja-gerja muda. Dan dalam kaitan itu kemandirian gerja, dari segi yang kini disebut kemandirian dana dan daya, mendapat perhatian besar.
Para utusan dari Indonesia pada konferensi itu disentak oleh kenyataan bahwa gereja-gereja di Indonesia terbelakang dibanding dengan perkembangan di tempat-tempat lain, khususnya di Jepang, India dan Cina. Sebab itu pada tanggal 12 Januari 1939, tepat pada hari ketibaan kembali jumlah terbesar mereka dari Tambaram, sepuluh orang menggabungkan diri ke dalam suatu pertemuan di ruangan konsistori Willemskerk di Batavia. 
Pertemuan itu dilangsungkan oleh pengurus Gerej Protestan, klasis Jawa Barat Gereja-gereja Protestan Cina, dan Majelis Agung Gereja Jawa Timur, untuk membicarakan keinginan dan kemungkinan membentuk suatu Dewan Gereja-gereja dan Zending di Indonesia. Pertemuan secarabulat menyetujui pembentukan dewan itu, lalu menunjuk suatu panitia kerja (werkcommissie) untuk menyusun anggaran dasarnya (statuten). Konsep-konsep ini akan dibicarakan pada bulan Oktober 1939, sebab dharapkanpada waktu itu sejumlah utusan akan datang menghadiri Sinode Am ke-2 Gereja Protestan. Pertemuan yang dimaksud berlangsung pada tanggal 2 Oktober 1939 danjuga secara bulat menyetujui pembentukan dewan itu. Untuk itu, dan kali ini secara resmi oleh wakil-wakil lembaga-lembaga yang terlibat, dibentuk panitia baru, yang sekaligus bertindak sebagai moderamen dewan itu, yaitu Dr. T.S.G. Moelia (Ketua), Dr.E. de Vries (Wakil Ketua) dan Mr. S.C. Graaf van Randwijxk (Sekretaris). 
Dari rancangan Anggaran Dasarnya jelas bahwa dewan ini (namanya di-Melayu-kan dengan Madjelis Geredja-gereja dan Zending di-Hindia Belanda) akan beranggotakan “kelompok-kelompok Geredja dan kerapatan-kerapatan Zending jang bekerdja di-Hindia Belanda” dengan tujuan: 
1.       memajukan persekutuan dan usaha bersama jang erat dari pada badan-badan jang bergabung, dengan menghormati se-penuhnya akan kebebasan dan berdirinja sendiri tiap-tiap badan itu.
2.       mempelajadjari soal-soal, jang penting utuk penjiaran Indjil danmemperteguhkan hidup Geredja seumumnja dan di Hindia Belanda khususnja.
3.       mengerdjakan matjam pekerdjaan untuk penjiaran Indjil dan keteguhan hidup Geredja di-Hindi Belanda, jang seturut sifatnja lebih baik diusahakan bersama daripada tiap-tiap anggota mengerdjakannja sendiri.



4.       mewakilkan Geredja-gereja dan kerapatan-kerapatan Zending disini dalam organisasi-organisasi internasional Geredja dan Zending.
Diharapkan bahwa jika Anggaran Dasar disetujui, maka Dewan dinyatakan berdiri dengan pimpinan sementara di tangan panitianya. Dewan itu tidak sempat diwujudkan, “karena bermacam-macam salah pengertian” dan pendudukan Jepang menghentikan rencana itu. 
Pendudukan Jepang (1942-1945) memaksakan suatu kemandirian gereja-gereja di semua bidang, karena para pekabar Injil Eropa ditahan dan hubungan dengan badan-badan Zending diputuskan. Atas prakarsa pemerintah Jepang juga dicapai “kebersamaan paksa” semua golongan Kristen di beberapa tempat.
Sebab itu ada pemahaman yang menerima pendudukan Jepang sebagai blessing in disguise bagi gereja-gereja di Indonesia. 
Boland menyimpulkan lima pengaruh dari kenyataan pada masa peperangan itu terhadap kerjasama oikumenis di Indonesia:
1.       sebagai “rengkahan kedua” (tweese breuk) dalam sejarah yang menandai perubahan radikal gereja di Indonesia,
2.       menjadi tombol pemindah isi (een omschakeling)dari pandangan-pandangan missiocentrischke ecclesiocentrisch,
3.       memungkinkan kenyataan dan mendesakkan perluya suatu oikumenisitas gereja-gereja di Indonesia,
4.       memunculkan wawasan oikumenis sedunia, khususnya di Asia Tenggara, tanpa diperhubungkan oleh “pihak Belanda” dan
5.       supremasi Zending Barat diubah menjadi suatu hubungan kerjasama oikumenis antar gereja-gereja saudara. 

4. Nota de niet: Balai Kristen 
Pada kenyataannya, peperangan tidak menghentikan gerakan keesaan gereja. Justru di dalam camp-camp tahanan Jepang tersedia kesempatan bagi para zendeling untuk memikirkan masalah-masalah gereja di Indonesia, juga tentang gerakan keesaan itu. 
Pada bulan Oktober 1945 dibentuk Contact-Comité voor Kerk en Zending oleh Gereja Protestan, Zendingconsulaat dan Gereformeerde Kerken. Tujuannya adalah membentuk suatu lembaga yang dengannya gereja-gereja di Indonesia dapat berbicara dengan satu suara (misalnya kepada pemerintah atau kepada gereja-gereja melalui suatu seruan). Komite ini berkaitan dengan suatu biro bagi bantuan dan pemulihan (Bureau voor Relief en Reconstructie), yang antara lain menangani urusan lectuur, pembagian bahan-bahan bangunan dsb.
Kemudian komite membentuk komisi-komisi darurat (Noodcomité) untuk pedidikan Kristen, pelayanan medis dan Lectuurcommissie. Dalam kalangan ini ada harapan untuk memulihkan impian sebelum perang, yakni mewujudkan kerjasama oikumenis dalam bentuk suatu Dewan Gereja dan Zending: 



bahwa meskipun demikian kebersamaan dalam Komite ini akan berguna untuk penyiapan yang lebih baik bagi suatu pemulihan yang cepat dalam bentuk baru “Dewan Gereja dan Zending” yang hampir berdiri tak lama sebelum pendudukan Jepang. 
Dalam kerangka itu Konsul Zending, Mr. M. de Niet, setelah melakukan perkunjungan ke Indonesia bagian Timur, menggagas suatu susunan sistematis Balai Kristen di Indonesië dalam suatu nota (kemudian dikenal sebagai Nota de Niet atau Balai-Plan) pada tanggal 30 Desember 1945, yang berjudul “Oecumenisch Samenwerking en Eenheid in Indonesië” (=Kerjasama Oikumenis dan Keesaan di Indonesia). 
Pada rapatnya tanggal 4 Juli 1946 NZR di Belanda menyetujui rencana itu “dalam arti umum”. Di Indonesia, rapat Kerkbestuur Gereja Protestan pada tanggal 16 Juli 1946 menyetujuinya “secara garis besar”, demikian juga klasis Batavia Gereja-gereja Gereformeerd pada tanggal 8 Agustus 1946. 
Balai-plan De Niet bertolak dari suatu kerangka mengenai tempat Gereja dan Zending di dalam tatanan dunia pasca perang. Dalam kerangka itu tatanan gereja dan Zending di Indonesia memerlukan pembentukan suatu pusat oikumenis yang kuat di mana berlangsung pertemuan, stimulasi, inspirasi, penelitian, perkenalan dan pengalaman. Kebersaman yang dianjurkan De Niet semata-mata untuk mengungkapkan kesatuan di dalma Kristus. Suatu “Gereja Kristen di Indonesia yang besar (een groote “Geredja Kristen di Indonesia”) dianggap De Niet prematur, tidak tepat dan tidak bertanggung jawab pada saat itu, mengingat kesadaran gereja yang sejati masih terlalu sedikit di kalangan jemaat. Selain itu, Gereja dibangun oleh Tuhannya sendiri: 
Sebuah “Gereja Kristen di Indonesia” yang sejati tidak bisa dibentuk dalam semalam oleh sejumlah orang atau oleh beberapa lembaga manusiawi atau dibentuk dengan suara bulat atau suara mayoritas. Dia harus bertumbuh oleh kasih karunia Allah, dan akan bertumbuh demikian, walaupun barangkali ada banyak usaha dan perjuangan secara sungguh-sungguh oleh orang –orang Kristen yang kurang lebih berpandangan oikumenis dan para pemimpin Gereja dan Zending. 
Menurut De Niet, yang sudah dapat dibentuk adalah sebuah Dewan Kristen Nasonal yang hidup dan kokoh, bernama “Balai Kristen di Indonesia”.
Dalam Balai ini diharapkan akan terhimpun semua gereja Protestan di Indonesia (sebagai anggota biasa” bersama-sama dengan gereja-gereja pengutus  di Belanda (NHK, GKN dsb) serta wakil-wakil perserikatan-perserikatan dan perhimpunan-perhimpunan pelayanan Kristen di Indonesia, seperti Dewan Sekolah (Schoolraad),CSV, CJVF, NBG, Yayasan Sekolah Theologia dan semua kelompok “kegiatan Kristen” (sebagai anggota luar biasa). Pengurus terdiri atas para wakil anggota yang berapat setahun sekali dan pengurus harian yang berkedudukan di Batavia. Konferensi tiga tahunan dapat diselenggarakan bergiliran di wilayah-wilayah Indonesia di mana ada “provincial council”. 






Bagian terpenting dalam Balai ini adalah stafnya, yang akan terdiri atas enam orang sekretaris, masing-masing:
a) seorang teolog yang ahli di bidang dogmatika, pengakuan serta tata gereja dan pendidikan      teologi,
b) seorang teolog ahli penginjilan di Indonesia yang harus ahli agama Islam, untuk bidang     pekabaran Injil,
c) seorang pendidik, yang ahli dalam metode pendidikan dan teologi, untuk urusan pendidikan     Kristen,
d) seorang yang ahli masalah-masalah di bidang etnologi, sosiologi dan ekonomi,untuk urusan     “social environment”,
e) seorang sekretaris untuk bidang pergerakan pemuda Kristen, dan
f) seorang sekretaris umum yang memadukan sebisanya semua urusan kantor dan berbagai     hubungan oikumenis.
Dan mengingat masih langkanya tenaga Indonesia yang memenuhi syarat-syarat itu maka akan terjadi campuran dengan orang Belanda dan Timur Asing. 
Kedudukan Balai itu harus di Batavia, tetapi bukan di pusat kota (supaya jauh dari keramaian), dan akan merupakan suatu kompleks dengan bangunan-bangunan untuk berbagai fasilitas, seperti perpustakaan umum, ruangan baca, ruangan kursu s dan konferensi, ruangan pertunjukan film dan slide, kantor dan pusat-pusat berbagai kegiatan lainnya. Bangunan sederhana dan berciri Indonesia dengan hiasan-hiasan dari berbagai hasil kebudayaan Indonesia. 
De Niet mencatat pula penghapusan Zendingconsulaat, dan sebagai gantinya adanya seorangZendingsdirector di Indonesia dengan fungsi utama di bidang administrasi keuangan (karena itu haruslah seorang accountant). 
Sebagai perwujudan kerjasama, De Niet mengusulkan pembentukan pelayanan medis Kristen, pendidikan dan literatur. 

5. Konferensi Batavia (1946) 
Atas prakarsa Zendingconsulaat dilangsungkan pada tanggal 10-20 Agustus 1946 di Batavia suatu konferensi parapekabar Injil. Tujuanya adalah mengantisipasi tugas-tugas pihak Zending dalam masa baru Indonesia: 
Refleksi atas tempat dan tugas Zending di dalam Indonesia yang baru, secara prinsipil dan secara praktis; untuk meningkatkan kesatuan visi dan kebijakan di segala pekerjaan zending di negeri ini; untuk menasihatkan gereja-gereja pengutus di Negeri Belanda, khususnya Dewan Zending Belanda, untuk menentukan kebijakan di Home Base; untuk mempersiapkan percakapan-percakapan lebih lanjut dengan badan-badan oikumenis, khususnya di Amerika, mengenai bantuan dan pemulihan, demikian juga mengenai kemungkinan pertolongan untuk sesuatu perencanaan baru pada masa depanjika sekiranya gereja-gereja di Indonesia memutuskan suatu perencanaan baru dan menginginkan bantuan seperti itu.



Konferensi Batavia ini membicarakan tiga pokok utama: tempat gereja dalam masyarakat, pembangungan gereja, dan pelayanan gereja di Indonesia. Untuk pokok pertama, ceramah-ceramah pengantar disampaikan oelh Dr. C.L. van Doorn (“De Kerk inhet midden”), yang membicarakan fungsi-fungsi kenabian, keimanan dan kerajaan gereja, dan oleh Ds. J.C. Hoekendijk (“Vrijheid van godsdienst”) serta masukan dari Contact-Comité beruap nota “De Vrijheid van Godsdienst in het toekomstige Indonesië”. Dalam pokok ini konferensi memberi tekanan pada demokrasi dan mendukung usaha-usaha mewujudkan kebebasan beragama. 
Mengenai pelayanan gereja (Kerkwerk) di Indonesia, Ds. J.C. Hoekendijk memperkenalkan comprehensive approach sebagai visi yang lebih luas dalam pelayanan gereja, berdasarkan perkembangan pemahaman dalam gerakan oikemene sedunia, khususnya IMC. 
Percakapan mengenai bidang pembangunan gereja (Kerkopbouw) meliputi pokok-pokok kebersamaan oikumenis, pendidikan teologi, pelayanan pemuda dan keluarga, serta pengadaan bacaan. Selain kebersamaan oikumenis, perhatian yang besar diberikan pada masalah pendidikna teologi sebagai “salah satu yang paling utama dan terpenting dari tugas-tugas Gereja-gereja dan Zending”.
Kebersamaan oikumenis dibicarakan berdasaarkan :Nota De Niet” (atau “Balai-plan”) dan “Richtlijnen voor het kerkelijk gesprek” (=Pedoman bagi percakapan gerejawi). Dalam pedoman yang disebut terakhir ini Bergema menunjuuk dua macam perbedaan antara gereja-gereja: yang berhubungan dengan pengakuan dan yang berhubungan dengan pengaturan gereja (kerkinrichting), yang masing-masing dapat dibedakan lagi atas perbedaan-perbedaan “historis” (kebangsaan, suku, bahasa, dst) dan “teologis” (perumusan pengakuan dan tata gereja). Bergema membedakan pula antara perbedaan-perbedaan yang dasariah dan yang tidak dasariah. Diharapkan dengan itu dapat dilihat kemungkinan-kemungkinan kebersamaan gereja-gereja dalam berbagai tingkatannya: 
Skala kemungkinan mulai dari pengakuan yang bertingkat persaudaraan dan kerjasama praktis seperistiwa sampai kesatuan gerejawi sempurna melalui penerimaan anggota-anggota baptisan masing-masing, surat menyurat dengan pertukaran laporan-laporan, majalah-majalah, dsb, konferensi-konferensi bersama malam-malam puji-pujian, malam-malam doa, penerbitan majalah jemaat bersama, perutusan tetap antar gereja, kesatuan federatif (dalam semangat Free Church Counsil, Federal Council of Churches of Christ di Amerika atau Dewan Gereja-Gereja Belanda kita), pengakuan anggota-anggota sidi masing-masing, pertukaran pendeta-pendeta, ibadah-ibadah bersama, kesatuan pendidikan, perjamuan kudus bersamadan peleburan.
Laporan konferensi, yang dirumuskan pada tanggal 20 Agustus 1946, mempertahankan cita-cita lama untuk membentuk Dewan Gereja-gereja dan Zending (Raad van Kerken en Zending) tetapi dengan tujuan yang baru: membentuk satu gereja di Indonesia. Kedua butir pertama laporan konferensi tentang hal ini berbunyi: 





Kebersamaan Oikumenis gereja-gereja di Indoensia sebagaimana ini terungkap dalam pembentukan suatu Dewan Gereja-gereja dan Zending di Indonesia pada tahun 1939-1941 perlu dimajukan dan diperkuat. Pewujudan, berdasarkan motif-motif rohani, satu gereja di Indonesia pada masa depan yang jauh atau dekat hendak menjadi tujuan kebersamaan oikumenis itu.
Tugas Dewan Gereja-gereja dan Zending ini meliputi:
1.       memprakarsai percakapan gerejawi mengenai soal-soal dogmatika (pengakuan), hukum gereja dan liturgi.
2.       memajukan pendidikan theologia.
3.       pekabaran Injil.
4.       memajukan pendidikan Kristen.
5.       pelayanan kesehatan
6.       mempelajari masalah-masalah yang bersifat ekonomis dan sosial.
7.       publisitas (pers dan radio).
8.       pelayanan pemuda.
Dalam Butir-butir lainnya diusulkan pembentukan dewan-dewan wilayah (khususnya di Indonesia bagian Timur dan Kalimantan), selama dewan secara nasional belum dapat diwujudkan. 
Jadi, makna penting konferensi Batavia ini bagi gerakan oikumene di Indonesia adalah memelopori kelanjutan kerjasama oikumenis dalam penggilan gereja dalam konteks yang baru (Indonesia merdeka) dengan pendekatan comprehensive. Dan dengan mencanangkan pembentukan satu gereja di indoensia. Di samping itu, penting pula bahwa pada konferensi ini timbul semangat keesaan yang” merasuk para pesertanya, khususnya para pendeta Indonesia dari wilayah Indonesia bagian Timur. 

6. Kalangan Gereja-gereja 
a) Gereja-gereja di Indonesia bagian Timur 
Sesudah pada konferensi Batavia itu para pesertz dari Indonesia bagian Timur, dipelopori Dw. W.J. Rumambi dari GMIM, Ds. E. Durkstra dari Timor dan Ds. F.H. de Fretes dari GPM, merencanakan suatu pertemuan wilayah. Ds. Rumambi, yang kemudian dipillih sebagai sekretaris panitia persiapan, menyampaikan “rentjana oesaha sekretaris panitia persiapan, menyampaikan “rentjana oesaha persiapan conferentie Makasar” dengan tujuan: menyatakan keesaan gereja-gereja dan bakal gereja-gereja dan membentuk majelis atau majelis-majelis gereja dan bakal-bekal gereja di Indonesia bagian Timur, selaku cabang atau cabang-cabang dari Balai Gereja Kristen di Indonesia.
Panitia dibentuk dengan Ds. Rumambi dan Dr. H. Bergema (yang juga sejak lama membentuk usaha-usaha menuju keesaan Gereja, khususnya melalui kesatuan pendidikan teologi) sebagai tulang punggungnya. Keduanya sama terpikat pada gagasan oikumenisnya dan dapat bekerjasama dengan baik.




Pandangan oikumenis Dr. Rumambi sebelumya, yang bertumbuh melalui pengalamannya bekerja dalam lembaga kesatuan Kristen paksaan Jepang, nyata dari pandangannya mengenai keesaan sebagai ketaatan kepada kehendak kehendak Tuhan dan sebagai prasyarat bagipanggilan memulihkan dunia pasca perang: 
Alasan segala oesaha kita di masa ini akan mewoejoedkan keessaan Keristen ialah kehendak Allah, bilamana kita tidak berbuat demikian, kita telah berdosa di hadapan Toehan Allah. Boekankah hal ini [kenyataan buruk dunia pasca PD II] soeatoe panggilan Toehan bagi kita, oematNja, diseloeroeh moeka boemi, akan mengatoer poela, membawa siasat jang benar, dalam segala lapangan hidoep. Bagaimanakah kita dapat berboeat demikian kalaoe roemah tangga kita sendiri, ja’ni Geredja Keristen, Persekoetoean Keristen, beloem teratoer, artinja beloem ada keesaan, persatoean roh Keristen dalam segala oeroesannja? 
Seperti dikemukakan De Niet, bahwa tujuan keesaan bukanlah membentuk suatu kekuatan politik, Ds. Rumambi juga kritis terhadap arah yang keliru seperti itu: 
Boekan maksoed kita akan mengadakan soatoe partai ataoe persatoean setjara doenia jang semata-mata hendak mereboet kuasa doeniawi sadja, boekan poela maksoed “gerakan keesaan” ini hendak mendirikan satoe Geredja jang maha koeasa, selakoe toedjoean achir, sehingga boekan nama Toehan dipermoeliakan melainkan nama pimpinan-pimpinan Geredja, sekali boekan demikian.
Konferensi yang diopersiapkan dengan apik itu berlangsung sebagai “Konferensi Gereja-gereja dan Zending”, pada atanggal 15-25 Maret 1947 di Malino (dekat Makassar), Sulawesi Selatan. Para peserta terutus dari berbagai lembaga gereja dan zending di Indonesia bagian Timur dan sejumlah undangan. Pokok-pokok keputusan Konferensi Malino ini meliputi: 
1) pembentukan Madjelis Oesaha bersama Geredja-Geredja Keristen, jang berpoesat di      Makassar(dipendekan Madjelis Keristen) pada tanggal 17 Maret 1947,
2) penetapan pendirian Sekolah Pendeta di Makassar,
3) persetujuan pada arah nasionalis penyelenggaraan pendidikan,
4) tugas pekabaran Injil,
5) kewajiban pekerjaan sosial,
6) menyetujui usul mendirikan Badan Poesat Penerangan dan Pekabaran Kristen di     Makassar dalam kerjasama dengan Lembaga Alkitab,
7) pelayanan pemuda dan
8) sikap bersama terhadap soal-soal bangsa dan negara.
Selain itu, Konferensi juga menetapkan suatu Konsep Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga bagi suatu wadah ouikumenis nasional, yang diharapkan terbentuk segera. 
Pembentukan Madjelis Keristen memastikan untuk sementara waktu usaha oikumensi di Sulawesi Utara (dan Tengah), yang didorong oleh kebersamaan yang dipaksakan pada zaman Jepang.





Pada akhir tahun 1945 direncanakan bahwa gereja-gereja dan zending di wilayah itu akan bekerja bersama-sama menyelenggarakan pendidikan pendeta, penerbitan majalah, pendidikan umum dan akhirnya mewujudkan satu gereja di Sulawesi Utara (dan Tengah). Baru kemudian, ketika Madjelis Keristen mlemah, kebersamaan itu diwadahkan dalam Dewan Daerah DGI di Sulawesi Utara pada konferensi gereja-gereja GKST, GMIM, GMIBM dan GMIST tangal 23 dan 26 Juni 1951, yang diresmikan pada tanggal 17 September 1951 di Kotamobagu. 
Konsep Anggaran Dasar dan konsep Peraturan Rumah Tangga bagi “Madjelis Oesaha Bersama Geredja-Geredja  Keristen di Indonesia” bermakna penting, karena dengan itu Konferensi Malino jelas mengacu pada wawasan nasional gerakan oikumene dan mempertegas arah gerakan itu sebagai gerakan gereja-gereja di Indonesia menuju “pembentoekan satoe Gereja Keristen di Indonesia”.
Lagi pula Madjelis Keristen yang dibentuk Konferensi ini merupakan wadah oikumensi yang sempat menghidupkan secara nyata kbersamaan gereja-gereja di Indonesia, khususnya dalam kegiatannya sebagai pelaksana dalam skala kecil apa yang nantinya akan dilaksanakan oleh Dewan Gereja-gereja di Indonesia dalam skala besar. Dengan kata lain, Konferensi Malino memberi bentuk nyata dan merintis arah gerakan oikumene di Indoensia. Madjelis Kristen memang memahami dirinya sebagai cabang suatu wadah nasional yang kelak dibentuk. 
Aspek Indonesia Madjelis Keristen cukup menonjol. Kelima orang pengurus inti badan pekerjanya semuanya orang Indonesia, yakni Ds.S. Marantika (Ketua), Ds.W.J. Rumambi (Penulis merangkap Bendahara), Ds.D. Ngefak, Pdt.S. Bombongdan Mr.G.P.Khouw (anggota-anggota). Juga aspek itu nayata dalam pekerjaannya sesuai tujuan pembentukannya, yang dapat disimpulkan dalam kata-katamengikat, mengkoordinir dan mewakili gereja-gereja. Dalam hubungan itu Madjelis Keristen telah menyumbangkan pengalamannnya bagi gerakan oikumene di Indonesia dalam mewadahi hidup bersama, bekerja bersama dan bersaksi bersama sebagai gereja.

b) Gereja-gereja di Jawa 
Gereja-gereja Protestan di Pulau Jawa menyelenggarakan xuatu konferensi pada tanggal 21-22 Mei 1946 di Yogyakarta. Gereja-gereja yang mengutus wakilnya adalah: Gereja Kristen Jawa Timur (Ds. Mardjo Sir dan Ds. Moedjodihardjo), Gereja Kristen Jawa Tengah sebelah Utara (Ds. Kartosoegondodan Ds. Daniël), Gereja Menonit (Ds. Djojodihardjo), Gereja Jawa Tengah sebelah Selatan (Ds. Wijoto Hardjotaroeno dan Ds. Poerbowijogo), Gereja Pasundan (Abednego), Gereja Tionghoa Jawa Tengah (Ds. Tan King Hien dan Sthe Tjiauw Bian). Beberapa gereja: “Gereja Huria (HKI), HKBP, Punguan Kristen Batak (PKB), gereja Masehi Indonesia (Indische Kerk), KGPM dll”, yang berkedudukan di Jakarta turut diundang tetapi tidak dapat hadir. Dalam konferensi itu, “semoeanja diundang tetapi tidak dapat hadir. Dalam konferensi itu “semoenja merasa betapa perloenja Geredja-Geredja Protestan satoe sama lain berhoeboengan jang erat dan teratoer, betapa perloenja bekerdja bersama-sama boekan sadja didalam zaman jang soekar ini, melainkan djoega oentoek seteroesnja”.




Dan sesuai dengan kepentingan itu konferensi membentuk Dewan Permoesjawaratan Geredja-geredja Protestant di Indonesia (DPG, singkatan resminya Dewan Geredja). Yang diterima menjadi anggota adalah “Synode-synode dari pada Geredja Protestant di Indonesia”. Dalam Anggaran Dasar Sementara, tujuan DPG ini dirumuskan: 
Dewan ini dibentoek dengan toedjoean oentoek mempersoalkan dan mempertimbangkan kepentingan Geredja-geredja bersama, baik dalam hal-hal jang langsoeng mengenai kegeredjaan dan keagamaan, baik dalam hal-hal jang mengenai lain-lain, jang ada hoeboengannja dengan kegeredjaan dan keagamaan dan mendjalankan oesaha-oesaha oentoek tertjapainja kepentingan terseboet.
Badan pengurus hariannya hanya terdiri atas tiga orang: Ds. B. Probowinoto (Ketua), Mr. M. Tamboenan (Penulis) dan Ds.The Siong Liong (Bendahari). Selain itu terdapat seksi-seksi (Pekabaran, Penerbitan Al kitab, Perhubungan denga Luar Negeri, Urusan Agama dan Pemerintahan, Usaha ke arah Persatuan Gereja-gereja Oecumenie yang beranggotakan satu orang dari masing-masing keenam gereja anggota pada setiap seksi.
Tampaknya DPG tidak dapt berbuat banyak karena berada di pusat pergolakan perang kemerdekaan Republik Indonesia melawan Belanda. Tetapi gebrakannya untuk menampilkan gereja Indonesia sangat bermakna. Pada konferensi pembentukannya dilangsungkan suatu sidang khusus mengenai pekabaran Injil yang secar radikal menyatakan bahwa pekabaran Injil merupakan tanggungjawab gereja-gereja di Indonesia dan bahwa Zending dari luar negeri menghalangi usaha keesaan dan mengurangi minat gereja-gereja di Indonesia menangani tugas pekabaran Injil itu. Sebab itu, sidang berkesimpulan bahwa badan-badan Zending dari luar negeri menghalangi usaha keesaan dan mengurangi minat gereja-gereja di Indonesia menangani tugas pekabaran Injil itu. Sebab itu, sidang berkesimpulan bahwa badan-badan Zending dari luar negeri tidak perlu lagi datang ke Indonesia; pekabar-pekabar Injil mereka boleh diutus tetapi sebagai tenaga yang diperbantukan kepada dan diatur oleh gereja-gereja di Indonesia. 
Pernyataan itu jelas menimbulkan ketegangan, khususnya dengan pihak GKN, yang kemudiandapat diselesaikan dalam Konferensi antar wakil-wakil DPG dengan GKN dan NHK di Jakarta, pada tanggal 19-24 Mei 1947. Konferensi Kwitang ini menghasilkan suatu naskah kesepakatan, yang dikenal sebagaiKwitang Accord. Bagian terpenting dari kesepakatan Kwitang itu adalah enam pasalmengenai “Dasar dan Cara Bekerja- Bersama” (Bab II). Lima pasal pertama berbunyi sebagai berikut: 
1.       Geredja di Indonesia adalah Geredja-geredja jang dewasa.
2.       Pekabaran Injil di Indonesia itoe adalah teroetama kewadjiban dari Geredja-geredja di Indonesia.
3.       Geredja-geredja di Loear Negeri dapat mengkabarkan Indjil di Indonesia bersama dengan Geredja-geredja di Indonesia didalam mana Geredja-geredja di Indonesia bertanggoeng djawab atas pekerdjaan itoe.




4.       Seloeroeh doenia pada oemoemnja dan Indonesia pada choesoesnja adalah lapangan pekabaran Injil dari Geredja-geredja di Indonesia.
5.       Karena  tanggoengan Geredja-geredja di Indonesia dalam hal pekabaran Indjil besar sekali, maka Geredja-geredja di Indonesia masih perloe menggoenakan bantoean dari Geredja-geredja di Luar Negeri, agar dapat melaksanakan kewadjiban terseboet diatas.
Pasal terakhir mengenai pelembagaan kerjasama jkedua pihak, yang dikenal sebagai Kwitang Structuur, adalah pembentukan suatu “Madjelis Wakil-wakil Geredja-geredja” (College van Deputaten) Indonesia dan Luar Negeri,dengan paling kurang ¾ jumlah anggotanya adalah wakil-wakil gereja-gereja Indonesia. 
Dengna mengacu pada telaah Kraemer mengenai kebangkitan gereja-gereja muda, laporan Zendingcosulaat mencatat tiga pokok makna KonferensiKwitang (dengan “accord” dan “structuur”nya): Konferensi Kwitang adalah bagian dari kesinambungan gerakan kemandirian gerja-gereja muda, khususnya sejak Konferensi Yerusalem (1928); ungkapanperalihan tanggungjawb pekabaran Injil sebgai tanda kedewasaan; dan merupakan model bagi kerjasama antara gereja-gereja dalam dan luar negeri.
Walaupun pada kenyataannya pihak Indonesia dalam konferensi itu hanya gereja-gereja Jawa, maknanya sebagai gereja Indonesia diakui pihak Zending, mengingat posisi pulau Jawa adalah “titik api strategi situasi zending di Indonesia”.

c) Gereja-gereja Cina 
Selain DPG sebagai wadah oikumenis “gereja-gereja Jawa”, juga pengelompokan sejenis terdapat di kalangan gereja-gereja Cina dan dalam rumpun Gerej Protestan. Kebersamaan gereja-gereja Cina di Indonesiaa sudah berlangsung sejak tahun 1926, ketika umat Kristen Cina mengadakan konferensi di Cipaku, dekat Bogor, membicarakanpenyatuan dan pembinaan gereja mengikuti pola three self movement.
Pada tahun berikutnya, konferensi di Cirebon membentuk Bond van Chinese Christenen, yang menjadi Geredja Tionghoa Serikat pada tahun 1934. Pada tanggal 25-28 Mei 1948 wakil-wakil dari 49 jemaat Cina di Pulau Jawa, Makassar, Pontianak, Singkawang dan Bangka-Bilition mengadakan konferensi di Jakarta. Konferensi dengan perutusan dari 69 jemaat pada tahun berikutnya berhasil mendirikan Dewan Geredja-Geredja Kristen Tionhoa di-Indonesia (DGKTI). Dewan ini bertujuan: 
1.       mempererat perhubungan Geredja Kristen Tionghoa, agar persatuan tertjapai.
2.       mentjari perhubungan degan geredja-geredja di Indonesia chusucnja.
3.       membantu memperluas pekabaran Indjil.
Walaupun jelas merupakan pengelompokan etnis, gerakan keesaan gereja-gereja di kalangan orang Cina juga merupakan bagian dari usaha mendewasakan dan mempersatukan gereja di Indonesia. 







d) Kalangan GPI: Keesaan Jeruk 
Reorganisasi Gereja Protestan melahirkan empat gereja:GMIM (1934), GPM (1935), GMIT (1947) dan GPIB (1948).
Sinode Am ke-3 GPI pada bulan Juni 1948 di Bogor membicarakan tata gereja (Kerkorde), terutama mengenai perhubungan antara GPI dengan gereja-gereja yang berdiri sendiri di dalmanya, dalam rangka mempertahankan ikatan kesatuan. Percakapan didasarkan pada hasil suatu komisi teologi. Pengantar yang disampaikan oleh Dr. Rasker, mengingatkan dua segi dalam soal hubungan itu, segi keesaan Gereja Protestan dan segi kemandirian gereja. Kemandirian gereja, tegasnya, “boekan berarti 100% berdiri sendiri”, karena “di dalam Kristoes tida ada satoe orag jang berdiri sendiri dengan 100%, sehingga kita bersangkoetan satoe sama lain”. Maka pentinglah untuk memegang keesaan sebagai mana telah dijalani sebelumnya: 
Kita haroes teroes pegang keesaan jang soedah ada dan sekarang kita haroes adakan sedikit perebahan dalam organisasi. Oleh karena kebangoenan rohani dan keisjafan nationaal ada timboel banjak soal-soal dalam lapangan Geredja ada diboetoehkan satoe decentralisasie lebih dari pada doeloe-doeloe
Toedjoean kita adalah soepaja ada 4 Geredja berdiri sendirijang tida teritoeng dalam geredja Maloekoe, Minahasa atau Timor, tetapi dalam bagian terbesar dari pada kepulauan ini.
Para peserta sidang menyambut hangat soal ini dan berbagai pandangan dikemukakan, yang intinya menyetujui dipertahankannya keesaan. Tekanan desentralisasi dengan mempertahankan bentuk kesatuan yang lama di bawah Kerkbestuur oleh Dr. Rasker ditanggapi secara mendalam oleh Ds.A.Z.R. Wenas.59Menurut Ds. Wenas, bentuk kesatuan yang lama sudah harus ditinggalkan untuk megikuti suatu Tata Gereja yang mengarahkan pada satu Gereja di Indonesia. Ds. Wenas mendukung kemandirian dalam kesatuan, tetapi menolak suatu “kesatuan-kerk”, karena akan bersifat sentralis dan akan menjadikan gereja-gereja yang mandiri sebagai gereja-gerjea daerah. 
Jika kita berbicara mengenai Gereja Protestan (bukan satu Gereja Protestan), maka inilah doa kita, bahwa juga gereja-gereja Indonesia lainnya akan berhimpun sekeliling Gereja Protestan di Indonesia. Jika kita mempertahankan Gereja-Gereja daaerah, maka gereja-gereja yang lain menutup diri. Itu berarti kemunduran. Jika Tata Gereja diterima, kesatuan tak pernah dicapai. Haruslah ada Tata Gereja yang diterima pihak-pihak yang lain.
Setelah diskusi, sidang menyetujui usul Kerkbestuur untuk menunjuk suatu panitia untuk merumuskan jalan menuju keesaan kekristenan di Indonesia: 
Ds. Keers menyatakn bahwa Kerkbestuur mengusulkan untuk menunjuk suatu panitia,yang teriri atas wakil-wakil Gereja-Gereja mandiri di Indonesia bagian Timur, dengan Dr. Emmen, Dr. Brouwer, Dr. Van Beyma dan wakil-wakil masing-masing Dewan, yang akan memberi satu suara kepada Gereja-Gereja muda. Panitia ini akan berusaha memberi bentuk kepada apa yang harus terjadi pada masa depan dan memutuskan jalan mana yang harus ditempuh Gereja Protestan menuju kesatuan Kekristenan di Indonesia.




Karena keputusan itu dianggap sangat penting maka Ds. B. Keers, ketua sidang, meminta Ds. B.S. Supit memimpin peserta dalam doa khusus Hasil pekerjaa panitia ini adalah sebuah dokumen dwibahasa (Indonesia dan Belanda)berjudul “Berita” (Boodschap), yang merupakan penyampaian keada gereja-gereja lain mengenai keesaan GPI dengan ajakan untuk menggabung di dalamnya, membentuk satu Gereja di Indonesia. Inti “Berita” dalam empat butir uraian itu terdapat dalambutir yang terakhir sebagai berikut: 
1.       Adalah soeatoe keoentoengan bagi kami bilamana kami hendak mengkabarkan kepada saudara-saudara, bahwa Synode am Geredja Protestant di Indonesia di Bogor telah berhasil mengadakan soeatoe tertib baharoe mengenai hoeboengan-hoebongan keempat geredja-geredja jang berdir sendiri jang terhisab padanaja dan keesaan telah beroesaha dari pihaknja sendiri, memberi soembangannja pada pembaharoean soesoenan kehidupan kehidoepan dan perhoeboengan geredja. Dalam soesoenan terseboet, tiap-tiap geredja jang berdiri sendiri mempoenjai pertanggoengan djawab sepenoeh-penoehnja terhadap oesahanja sendiri dengan pimpinan Synodenja sendiri. Geredja-geredja itoe berhimpoen dalam soeatoe Sidang-Geredja Am dengan mengirim oetoesan-oetoesannja jang ditentoekan oleh synodenja. 
2.       Maka dalam Sidang-Gredja Am inilah, geredja2 iteo menjatakan keesannja dalam ikrar, dalam panggilan rasoeli, dalam penjelenggaraan bersama pendidikna dan peroepaan pendjawat-pendjawat Geredja, dan dalam tanggoeng-djawabnja menolong satoe demi jang lalin dalma perkara-perkara praktis. Teranglah, bahwa Sidang-Geredja  Am ini akan melajani geredja-geredja dengan memberi penerangan dan pimpinan jang amat perloe mengenai masalah-masalah jang amat berarti setjara prinsipil oentoek kehidoepan geredja-geredja.
Geredja-geredja jang meroepakan bersama-sama geredja jang esa ini, haroeslah memandang segala badan-badan pelajan dari Sidang-Geredja Am itoe, selakoe badan-badannja sendiri. Pada waktoe-waktoe jang tertentoe mereka akan berhimpoen dengan oknoem-oknoem jang bertanggoengdjawab, akan memperkokohkan pimpinan dan akan menetapkan dengan lebih tegas toegas-toegasnja jang istimewa. 
3.       Sinode Am menyatakan pengharapanja, kiranja Rohoel-mengambil kepoetoesan jang penting ini. Baginja, adalah ini soeatoe sjoekoer, bahwa ia dapat memperhadapkan sekarang kepoetoesan ini kepada saudara-saudara. kami berboeat hal ini dengan pengharapan, kiranaj saudara-saudara djoega sedia hati mempertimbangkan dengan soenggoeh soal-soal, jang diperhadapkan disini. Adalkah soeatoe kegirangan besar bagi kami bilamana diantara kita terdapatlah hal-hal jang menghentar kita pada pertjakapan geredjani jang mendalam, pada perikatan jang lebih erat dan oesaha bersama setjara praktis, didasarkan atas kejakinan kita bersama, bahwa kita esa adanja dalam iman dan ikrar. 





4.       Synode Am menyatakan pengharapannja, kiranja Rohoel-koedoes akan memimpin kita sekalian saudara-sudara dengan kami, dalam kebenaran Indjil Toehan kita Jesoes Kristoes, menoedjoe keesan Geredja Toehan di tanah ini, serta djoega pada menantikan dengan kesoekaan hati kedatangan Keradjaan Allah.
Dengan “berita” ini GPI menawarkan suatu model keesaan gereja, yang dikiaskan sebagai keesaan jeruk, di mana kemandirian masing-masing gereja diperdamaikan dengan keesaan seluruh gereja. Model keesaan, yang dengan hati-hati diusulkan GPI ini, mendapat kecaman-kecaman dengan tuduhan bahwa GPI bersifat imperialis (hendak menguasai gereja-gereja lain) atau berusaha mengabortus rencana pembentukan suatu dewan gereja-gereja, yang panitianya sudah dibentuk, atau bahwa ingin BAPEAMnya (Badan Pekerja Am, mengganti Kerkbestuur GPI) menjadi pusat Dewan Gereja-gereja di Indonesia.
Sebab itu, dalam penjelasannya pada Konferensi Persiapan DGI, Ds. Rumambi menyatakan sikap GPI terhadap rencana pembentukan DGI: 
Djikalau Geredja di-Indonesia hendak mentjapai kesatuan, lain dari Geredja Protestant, maka Badan Pekerdja Am dengan rela bubarkan diri, djikalau kesatuan itu lebih sempurna dan hendak menghisapkan dirinja dalam badan itu. Keterangan ini perlu, supaja semua kesulitan dan wsangka dihapuskan. Maka semua suara-suara jang didengar terhadap Geredja Protestant di-Indonesia harus dihapuskan, djikalau hendak bentuk suatu Dewan Geredja-geredja di-Indonesia. Maka teranglah sekarang, bahwa Geredja Protestant di-Indonesia hendak menjokong dan membantu berdirinja Dewan Geredja-geredja. Badan Pekerja Am menjokong Dewan Geredja-geredja di-Indonesia dan bekerdja terus membantu akan mempereratkan Geredja-geredja di-Indonesia.


BAB IV
Gerakan Oikumene di Indonesia dan lahirnya Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI)

A. Latar Belakang
Pada tahun 1947 Ds.W.J. Rumambi, sebagai sekretaris Madjelis Keriten, menghubungi Ds.B. Probowinoto (wakil DPG), Ds.T. Sihombing (wakil Madjelis Geredja Sumatera dan Ds.H. Dingang (Ketua Geredja Dajak Evangelis) menyampaikan suatu usul, yang dilampiri “Rentjana Anggaran Dasar dan Rentjana Peratoeran Roemah Tangga Madjelis Oesaha Bersama Geredja-Geredja Keristen di Indoensia” hasil konferensi Malino, untuk pembentukan suatu badan oikumenebagi gereja-gereja di seluruh Indonesia.
Kemudian, pada bulan Januari 1948, bersama sejumlah tokoh Kristen di Jakarta mereka membentuk Panitya Perantjang yang diketuai Ds. B.A. Supit, dr.J.E. Siregar sebagai Sekretaris, dan Mr. A.L. Fransz bersama para sekretaris dewan daerah dan Ketua GDE sebagai anggota-anggota;





sedangkan Dr.T.S.G. Moelia sebagai penasehat. Tetapi suatu panitia baru, dengan Moelia sebagia Ketua dan Rumambi sebagai Sekretaris, berhasil mempersiapkansuatu rancangan Anggaran Dasar dan peraturan-peraturan untuk bagian-bagian badan oikumenis yang direncanakan itu serta persiapan-persiapan untuk pelaksanaan konferensi. 
Setelah pembentukan Dewan Gereja Sedunia di Amsterdam pada konferensi tanggal 22 Agustus – 4 September 1948, direncanakan akan berlangsung suatu persidangan Joint Office WCC dan IMC untuk Asia Timur pada bulan Desember 1949 di Bangkok. Para pemuka gerakan oikumene di Indonesia berharap bahwa wadah oikumene nasional sudah akan terbentuk untuk dapat diterima sebagai anggota IMC dalam sidang di Bangkok itu. Tetapi persiapan panitia baru memungkinkan konferensi pembentukan wadah nasional itu dilangsungkan tanggal 7-13 Nopember 1949 di Jakarta. Konferensi itu (yang dikenal sebagai Konferensi Persiapan DGI) dihadiri 19 orang utusan yang mewakili 29 gereja dan 28 orang peninjau dari berbagai badan kegerejaan, termasuk panitia.
Sebelumnya, dalam rapat panitia pada bulan Pebruari 1949, telah dipersiapkan suatu konsep Anggaran Dasar yang berisi lima belas pasal. Penyempurnaan konsep itu menghasilkan Anggaran dasar Baru di mana nama “madjelis” diganti menjadi “dewan” dan badan oikumene yang akan dibentuk ditetapkan bernama Dewan Geredja-Geredja di Indonesia, dengan tujuan “pembentukan Geredja Kristen jang esa di Indonesia”.
Selain itu konferensi juga menghasilkan suatu seruan mengenai rencana tersebut kepada “Geredja-geredja, perkumpulan-perkumpulan dan umat Kristen di Indonesia dan sekalian jang suka mendengarnja”. Konferensi memutuskan bahwa pembentukan Dewan akan dilakukan pada suatu konferensi sekitar Hari Pentakosta tahun berikutnya. 
Sesuai rencana, konferensi pembentukan dilangsungkan tanggal 22-28 Mei 1950 bertempat di aula STT Jakata. Sedianya sidang akan segera memaklumkan pembentukan DGI, tetapi Ds. Probowinoto meminta pembicaraan Anggaran dasar terlebih dahulu, yang berkembang menjadi perdebatan sengit antara Ds. Probowinoto dengan Ds. Rumambi, yang masing-masing mendapat dukungan dari peserta sidang. Masalahnya adalah adanya sisipan Paniotia Persiapan pada Anggaran Dassar yang telah disepakati pada sidang bulan Nopember 1949, yaitu menambahkan bahwa badan-badan Zending diterima sebagaiassociated member.
Akhirnya disepakati untuk membentuuk sebuah panitia khusus yang akan menyempurnakan Anggaran Dasar. Panitia khusus tersebut terdiri atas: Probowinoto, Soesilo, Sinaga, Sahulata, Tan Yoe Gie dan Rumambi. Panitia ini mengajukan hasil pekerjaannya pada tanggal 25 Mei, yang diterima setelah tanggapan dan penyempurnaan oleh sidang. Keanggotaan badan Zending dihapuskan dengan suatu lampiran penjelasan. Dengan demikian berdirinya Dewan Geredja-geredja di Indonesia disahkan, disusul pembacaan “Pengumuman” oleh Ds. Rumambi dan doa syukur yang dipimpin berturut-turut oleh Ds. Supit, Ds. Dingang, Ds. Khoe Lan Seng, Ds. Stelma dan Ds. Suhadi.





Penolakan atas keanggotaan badan-badan Zending dalam DGI menunjukan bahwa pada akhirnya gerakan oikumene di Indoensia bersangkut paut dengan gereja, dan pekabaran Injil adalah bagian dari tanggung jawabnya. Pandangan Ds. Probowinoto, yang menolak keanggotan badan-badan Zending dalam DGI, jelas dipengaruhi Kwitang-structuur dan juga memperlihatkan penolakan terhadap model pelembagaan oikumenis Internasional, bahwa di samping WWC (gereja-gereja) ada IMC (badan-badan Zending). Penjelasan mengenai penolakan badan-badan Zending sebagai anggota DGI menyatakan: 
1.       Zending atau pekabaran Indjil adalah tugas dari tiap2 geredja, karena itu geredja-geredja di Indonesia djuga mempunjai badan-badan jang mengurus pekabaran Indjil itu. 
2.       Dengan terbentuknya D.G.I., maka D.G.I. supaja mengkoordinir badan2 pekabaran Indjil dari geredja-geredja Indonesia dalam suatu komsi tetap jang melulu mengerdjakan tentang soal-soal pekabaran Indjil. Dalam komisi pekabaran Indjil itulaj Zending luar negeri dapat bertemu dengan geredja-geredja di Indonesia. Pekabaran Injil dari D.G.I. dan Pekabaran Indjil dari luar negeri merupakan suatu komisi yang sekarang tugasnya hanja: 
3.       Memikirkandan menjelidiki soal-soal pekabaran Indjil di Indoesia dn negeri2 lain, lalu mengandjurkan hasil-hasilnja kepada sekalian geredja-geredja dan Badan-badan Kristen di Indonesia.
4.       Penolakan itu menandai peralihan dari pimpinan pihajk Zending Barat ke gereja-gereja Indonesia. Hanya dalam komisi-komisi tertentu beberapa tenaga asing masih dipertahankan. 
B. Kesimpulan
DGD (Dewan gereja-gereja sedunia) yang merupakan hasil dari Gerakan Oikumene, memberikan suatu perkembangan yang baru bagi Gerakan Oikumene. Sebagai realisasi di Indonesia, pada tanggal 6-13 Nopember 1949 diadakan konperensi persiapan pembentukan DGI di Jakarta; dan akhirnya pada tanggal 25 Mei 1950 terbentuklah DGI (setelah SR X th. 1984 di Ambon, berubah nama menjadi PGI), yang juga merupakan hasil dari gerakan Oikumene. Dan selanjutnya PGI menjadi motivator utama bagi gerakan Oikumene di Indonesia.

C. Rangkuman Gerakan Oikumene Di Indonesia
Proses gerakan oikumene di Indonesia, sejak tahun 1928 sampai tahun 1950, memperlihatkan beberapa garis yang jelas. Pertama-tama, pengaruh gerakan oikumene sedunia, khususnya dalam IMC, cukup menentukan. Dalam kaitan itu, yang mela-mela menyadari pentingnya kebersamaan dalam kerangka pekabaran Injil di Indonesia adalah kalangan Zending. Tetapi kemudian, karena pengaruh dari kemandirian gereja, terjadi perembesan gagasan oikumenis kepada kalangan orang Kristen Indonesia. Dan selanjutnya faktor Perang Dunia II dan pendudukna Jepang menjadi gerakan gerakan keesaan gereja-gereja di Indonesia.




Dalam proses perembesan dan peralihan itu berperan penting “generasi muda Kristen berwawasan baru”. Lulusan HTS dan mantan anggota CSV op Java terdapat di antara para penganjur gerakan keesaan gereja dan pimpinan pertama DGI. Dan dalam dinamika wawasan Zending dan wawasan nasionalisme mereka memberi isi pada gerakan oikumene sebagai gerakan kekristenan di Indonesia menjawab panggilannya di dalma kenyataan masyarakat, bangsa dan negara Indonesia. 
DPG di Yogya berusaha berada di garis depan tekanan ke Indonesia-an gerakan eesaan dan kemudian mendesakkan model yang tepat bagi kedudukan Zending Barat (Kwitang-structuur), tetapi adalah Madjelis Keristen di Makassar yang berhasil mewujudkan hidup-bekerja-bersaksi bersama sebagai gereja secara konkret dan dengan itu menjadi bentara bagi badan oikumensi konkret dan dengan itu menjadi badan oikumenis nasional, DGI. Pengelompokan oikumenis lainnya adalah rumpun GPI dengan model “keesaan jeruk”nya, sedangkan gereja-gereja di Sumatera dan Kalimantan belum tampil dengan suatu sumbangan khusus pada masa it. Selanjutnya, sebagaimana halnya dalam kemandirian gereja, dalamgerakan keesaan gereja pengaruh nasionalisme tidak secara langsung, dalam arti kebersamaan yang diupayakan bukanlah merupakan penyatuan kekuatan melawan dominasi asing di dalam gereja-gereja. Yang terjadi adalah suatu proses pencarian bentuk kebersamaan oikumenis dengan gereja-gereja dalam lingkup internasional (baca: Zending Barat), yang ditemukan dalam “Kwitang-structur” itu. Artinya, baik orang Kristen Indonesia, maupun para pekabar Injil Barat sama menyadari (dan mendukung) bahwa kedewasaan gereja-gereja di Indonesia justru terletak pula dalam kemampuan untuk memberi setiap pihak tempatnya yang tepat dalam kebersamaan menjalankan panggilan gereja di Indonesia. 
Pembentukan wadah oikumenis dalam bentuk dewan gereja-gereja, bukan menggabung pada GPI atau membentuk sebuah gereja nasional (sesuai usul GMIM) merupakan jalan pendamaian antara proses kemandirian dengan proses keesaan gereja. Pada jalan ini, masalah perbedaan atau pengelompokan gereja-gereja di Indonesia, terutama sebagai greja suku, diarahkan ke dalam kebersamaan. Kenyataan perbedaan itu tidak dihapuskan, melainkan diberi tempat dalam kerangka perhatian pada kebhinekaan Indonesia sebagai satu wawasan dalam panggilan kekristenan di Indonesia. Dengan itu maka dalam tujuan gerakan oikumene di Indonesia, pembentukan Gereja Kristen yang esa di Indonesia, bergaung gema nasionalisme bahwa gereja-gereja di Indonesia dipanggil dari dan bagi bangsanya.












BAB V
Sejarah lahirnya Persekutuan Gereja Lembaga Injili Indonesia (PGLII)
A. Pendahuluan
Dua tahun setelah Oikumenis WCC ( World Council of Churches) dibentuk pada tahun 1984 di Amsterdam – Belanda, pada tahun 1951 dalam Konvensi Internasional Evangelikal di Wondschoten dibentuklah organisasi World Evangelical Fellowship (WEF) atau Persekutuan Injili Se- Dunia. WEF menjadi wadah internasional bagi berbagai organisasi Kristen Injili. Sejak tahun 2002, World Evangelical Feelowship (WEF) berubah namanya manjadi World Evangelical Alliance (WEA).
Dua gerakan misi Kristen modern dicirikan oleh dua pola pendekatan, yang satu oikumenikal dan yang lainnya evangelical. Gerakan misi ini tentunya sangat berpengaruh bagi gerakan misi di Indonesia yang akhirnya juga terpolarisasi pada dua gerakan misi, yaitu oikumenikal dan evangelical.
Gerakan evangelical di Indonesia menemukan bentuknya melalui pergumulan yang intens dari tokoh-tokoh injili pada bulan Juni 1971 di City Hotel Jakarta dan pada bulan Juli 1971 di Batu, Malang – Jawa Timur, yang kemudian melahirkan Persekutuan Injili Indonesia (PII)
B. Lahirnya Persekutuan Injili Indonesia
Dalam catatan sejarah PII, kami melihat bahwa tolak ukur utama dalam pergumulan untuk mewujudkan gerakan bersama kaum injili di Indonesia adalah “persekutuan.” Kata kunci ini menjadi acuan awal dari gerakan, yang oleh karenanya sejak awal tahun 1969 tokoh – tokoh injili di Indonesia ketika membidani lahirnya gerakan dan wadah besar (PII) dimulai dengan kegiatan yang kelihatannya kecil tetapi memiliki “power” yang sangat besar dan luar biasa, yaitu “ persekutuan.”
Tokoh – tokoh injili menjadikan “persekutuan “ sebagai wahana dan wacana untuk :
1. Membahas beban bersama dalam bidang pekabaran Injil dan misi di Tanah Air.
2. Menggumuli kebutuhan akan suatu wadah bagi Gereja, lembaga dan badan misi  Injili di      Indonesia.
3. Menampung aspirasi dari Gereja, yayasan dan badan-badan misi di Indonesia.
4. Bersekutu dan bersama-sama memberitakan Injil.
Persekutuan dan pergumulan bersama yang dilakukan selama dua tahun akhirnya melahirkan wadah yang besar dalam arus gerakan misi injili bagi gereja, lembaga, yayasan dan badan-badan misi injili di Indonesia.

Mendahului lahirnya Persekutuan Injili Indonesia, di Ramayana Hotel City, Tanah Abang- Jakarta, pada tanggal 15 Juni 1971 diselenggarakan persekutuan / pertemuan yang dihadiri oleh l.k 100 hamba-hamba Tuhan.
Dalam pertemuan tersebut disepakati 4 hal penting :
1. Nama wadah pelayanan / perjuangan bersama adalah Persekutuan Injili Indonesia
2. Pengurus (sementara) ditetapkan sebagai berikut :
    • Ketua : Pdt. DR. Petrus Octavianus
    • Sekretaris : Pdt. Willem Hekmann
    • Bendahara : Philip Leo
3. Pengurus (sementara) bertugas mempersiapkan Kongres Nasional I Persekutuan Injili      Indonesia.
4. Pengurus (sementara) bertugas mempersiapkan konsep rumusan mukadimah lahirnya     Persekutuan Injili Indonesia dan konsep AD/ART Persekutuan Injili Indonesia.
Pada tanggal 17 Juli 1971 di Batu, Malang – Jawa Timur dirumuskan lahirnya Persekutuan Injili Indonesia (PII) dengan moto ” Dipanggil untuk Bersekutu dan Memberitakan Injil” yang didasarkan pada Matius 28 : 19 dan Galatia 5 : 1. Momentum ini ditetapkan sebagai hari lahirnya Persekutuan Injili Indonesia.
Tokoh – tokoh yang terlibat secara intens dalam pergumulan proses lahirnya PII adalah sebagai berikut : Bp. Pdt. DR. P. Octavianus, Bp. Pdt. DR. Ais. M. O. Pormes, Bp. Pdt. G. Neigenfrad, Bp. Pdt. W. Hekmann, Bp. Brigjen (purn) N. Huwae, Bp. Philip Leo, Bp. S. O. Bessie, Bp. Pdt. DR. HL. Senduk, dan Bp. Ev. S. Damaris, Pdt. Ernest Sukirman dan Pdt. Andreas Setisawan.

BAB VI
Sejarah lahirnya Persekutuan Gereja Pentakosta Indonesia (PGPI).

Kabar Pentakosta mulai dikenal di Indonesia dengan berangkatnya 2 orang utusan Pentakosta dari Seattle (USA) bersama keluarganya dengan menumpang kapal "SUAMARU" pada tanggal 4 Januari 1921 menuju Jakarta (Batavia) melalui Jepang, Hongkong, dan tiba pada bulan Maret 1921. Kedua utusan Injil tersebut adalah Pdt. Cornelius E. Groesbeek dan istrinya yang bernama Marie van der Weg bersama kedua putrinya (Jennie dan Corrie) serta Pdt. Richard D. van Klaveren beserta dengan istrinya.
Dari Jakarta, mereka kemudian melalui Mojokerto, Surabaya, Banyuwangi, dan seterusnya menuju Singaraja (Bali) dengan kapal "Vankenboot".

Mereka menetap di Denpasar dan tinggal di sebuah gudang kopra yang lantainya dari batu bata yang sudah hancur dan atapnya terbuat dari rumbia. Mengapa mereka menuju ke Bali? Karena mereka menerima visi harus pergi ke pulau Bali.
Meskipun sengsara, mereka bekerja dengan giat menabur Injil sepenuh di pulau Bali dengan jalan mendatangi rumah-rumah. Banyak jiwa yang dimenangkan tanpa mengadakan kebaktian seperti sekarang ini, tanpa khotbah yang lazim dibuat dalam gereja-gereja. Reaksi datang dari imam-imam Hindu yang marah dan bersepakat untuk membunuh para misionaris tersebut. Lalu pemerintah kolonial Belanda tidak mengijinkan rakyat Bali untuk diberi berita tentang kekristenan. Asisten residen yang menduga adanya gerakan "me-Nasrani-kan" rakyat Bali segera melarang keluarga Groesbeek menetap di Bali dengan alasan takut merusak kebudayaan asli pulau Dewata tersebut. Setelah berdiam kurang lebih 21 bulan lamanya di Bali, pada saat mendekati hari Natal 1922, keluarga ini pindah ke Surabaya lalu kemudian keluarga van Klaveren menuju Jakarta.
Di Surabaya, Pdt. Groesbeek berkenalan dengan Ny. Wijnen, yang mempunyai seorang keponakan yang bekerja di BPN Cepi, namanya F.G. Van Gessel. Dengan perantaraan Ny. Wijnen yang telah menerima kesembuhan ilahi setelah didoakan oleh Pdt. Groesbeek, maka Sdr. F.G. Van Gessel diperkenalkan kepada Pdt. Groesbeek. Memang sudah lama sekali George van Gessel memikirkan soal kehidupan rohani yang lebih tinggi, maka kedatangan Pdt. Groesbeek ini mendapat sambutan hangat sekali. Berita Pentakosta diterimanya dan kemudian di rumah Sdr. Van Gessel, di Deterdink Boulevard, Cepu, pada bulan Januari 1923 dibuka kebaktian Pentakosta yang pertama. Warga negara Indonesia yang bertobat adalah Bpk. S.I.P. Lumoindong, yang juga seorang pegawai BPN.
Pada tanggal 30 Maret 1923 terjadi peristiwa rohani dengan adanya baptisan air yang pertama di Indonesia, diadakan di Pasar Sore, Cepu, untuk 13 orang. Baptisan dilakukan oleh Pdt. Thiensen dari Eropa dan di antara yang dibaptis adalah F.G. Van Gessel dan istrinya, juga S.I.P. Lumoindong dan istrinya, juga August Kops.
Selanjutnya ibu Van Gessel adalah orang yang pertama menerima baptisan Roh Kudus. Keluarga Van Gessel menyerahkan hidupnya untuk Tuhan dan meninggalkan Cepu dan pekerjaannya di BPN untuk kemudian pindah ke Surabaya. Di Surabaya muncul perintis-perintis Pentakosta yang memberitakan kabar Injil di berbagai kota di Indonesia.
Pada tahun 1925, untuk pertama kalinya diadakan konferensi Pentakosta untuk mempersatukan pendeta-pendeta aliran Pentakosta. Pekerjaan tuhan berjalan terus dan pada tanggal 4 Juni 1933 bangunan permanen gedung gereja "PINKSTERGEMEENTE" yang pertama diresmikan. Surabaya menjadi pusat Pentakosta pada waktu itu.


Pendidikan kader hamba-hamba Tuhan diadakan oleh Pdt. Van Gessel dan datang pula keluarga W.W. Patterson dari USA. Pada tahun 1935 beliau membuka Sekolah Alkitab "BIJBEL INSTITUT IN NEDERLANSCH OOST INDIE (NIBI)" di Jl. Embong Malang Surabaya.
Pada tahun 1955, hamba-hamba Tuhan aliran Pentakosta membantuk PAPSI (Persatuan Antar Pendeta-pendeta Seluruh Indonesia). Persatuan ini selanjutnya sepakat untuk membentuk organisasi persatuan dengan nama DKGKPSI (Dewan Kerjasama Gereja-gereja Kristus Pentakosta Indonesia), dan juga lahirlah PPI (Persekutuan Pentakosta Indonesia).
Menjelang Pemilu 1971, di Surabaya berdiri PUKRIP (Persekutuan Umat Kristen Pentakosta di Indonesia) dan kemudian berubah nama menjadi Persekutuan Umat Kristen Pancasila.
Pada tanggal 28 Agustus sampai dengan 3 September 1979 di Jakarta "DKGKPSI" dan "PPI" sepakat untuk bergabung menjadi satu. Kesepakatan tersebut didukung dan direstui oleh Pemerintah RI dalam  Musyawarah Besar Penyatuan pada tanggal 14 September 1979 di gedung Wanita-Kalibokor, Surabaya, dan terbentuklah DEWAN PANTEKOSTA INDONESIA yang disingkat menjadi DPI. Dan kemudian berdasarkan keputusan Musyawarah Besar IV DPI tanggal 22 Oktober 1998 di Ciparua, Bogor, maka nama DPI berubah menjadi PERSEKUTUAN GEREJA-GEREJA PENTAKOSTA INDONESIA (PGPI).
PGPI dinyatakan sebagai organisasi gerejawi yang mewakili aspirasi umat Kristen Pentakosta di Indonesia yang sejajar dengan PGI (Persekutuan Gereja-gereja Indonesia) dan PGLII (Persekutuan Gereja-gereja Lembaga Injili Indonesia). Ketiga organisasi aras nasional ini telah sering bekerja sama khususnya dalam hubungan dengan Pemerintah, selain juga adanya Gereja Bala Keselamatan, gabungan Gereja-gereja Baptis Indonesia, Gereja Masehi Advent Hari Ke-7 (MAH) dan PGTI (persekutuan Gereja-gereja Tionghoa Indonesia).

BAB VII
5 DOKUMEN KEESAAN GEREJA

Berdasarkan pengakuan bahwa tiap gereja adalah ungkapan dari gereja yang esa.kudus,am dan rasuli dan bahwa semua gereja disegala zaman dan tempat terpanggil untuk melaksanakan tugas panggilan gereja yang sama dan satu yaitu memberitakan, maka gereja-gereja diseluruh dunia bertanggung jawab melaksanakan tugas panggilan itu dalam persekutuan dan kerjasama serta saling menghormati dan menghargai keberadaan masing-masing. Dalam mengembang panggilan oikumene semesta maka hubungan dan kerjasama oikumenis perlu dibina.




Yang dimaksudkan dengan hubungan-hubungan oikumenis adalah hubungan dengan gereja-gereja dan lembaga-lembaga Kristen di Indonesia yang tidak atau belum menjadi anggota PGI dan PGI wilayah.
Sejarah Kelahiran “Lima Dokumen Keesaan Gereja”(LDKG)
Secara resmi LDKG lahir selaku keputusan SR X DGI/PGI 1984 Ambon tahun 1984. rumusan LDKG Ambon telah mengalami beberapa perubahan dalam upaya penyempurnaan dalam SR XI PGI Surabaya dan SR XII PGI 1994 Jayapura sehingga mencapai bentuk yang sekarang. ( Buku, Lima Dokumen Keesaan Gereja ).
Ketika DGI dibentuk tahun 1950 dengan tujuan pembentukan Gereja Kristen yang Esa di Indonesia belum ada bayangan/gambaran mengenai Gereja Kristen yang Esa di Indonesia itu. Setelah dibentuk baru kemudian diperkembangkanlah pemahaman dan gambaran mengenai Gereja Kristen yang Esa tersebut.

Dalam proses pengembangan pemahaman dan gambaran tersebut dari satu Sidang Raya ke Sidang Raya berikutnya kian dirasakan adanya semacam ketegangan antara 2 kecendrungan
yaitu :
          1. Kecendrungan untuk mengutamakan keesaan rohani dalam kristus dan karena itu enggan               membahas hal-hal yang menjurus kepada penyatuan secara struktural organisatoris.
          2. Kecendrungan untuk mengutamakan keesaan struktural organisasi dan karena itu kurang               sabar terhadap segala perbedaan dan sikap mempertahankan identitas diri masing-              masing.
Dalam upaya menampung kedua kecendrungan ini dan bersamaan dengan iklim yang sedang mempengaruhi Dewan Gereja se-Dunia ( DGD ) dilakukan dengan pola pendekatan melalui 3 komisi antara lain :
         1. Komisi Faith and Order ( Iman dan Tata Gereja )
         2. Komisi Life and Work ( Hidup dan Karya Gereja )
         3. Komisi Mission and Evangelism ( Misi dan Pekabaran Injil )
Dan DGI-pun menata diri dengan 3 pola diatas, dan dimulailah studi dan penyelidikan bersama mengenai pengakuan iman, tata gereja, katekisasi, liturgi yang digunakan oleh gereja-gereja anggota.
Disadari bahwa keesaan gereja bukan hanya sekedar keesaan rohani saja,tetapi sekaligus tampak dalam wujud yang kelihatan (kelembagaan) sehingga keesaan rohani menjadi kesaksian kepada dunia. Keesaan juga bukan keseragaman (uniformitas) dan bukan pula keterpisahan melainkan keragaman dalam kebersamaan.

Setelah SR IX DGI 1980 Tomohon, BPH DGI menyampaikan gagasan mengenai pembaharuan struktur,nama dan sarana DGI. Dalam gagasan tersebut dikemukakan 2 langkah penting :




pertama,bertolak dari peristiwa pembentukan DGI selaku badan persekutuan Oikumene gereja-gereja di Indonesia maka mesti dilaksanakan kegiatan-kegiatan untuk mengungkapkan keesaan gereja secara lebih nyata.
kedua, setiap kali sesudah jangka waktu tertentu perlu dipersiapakan langkah-langkah baru dan untuk itu perlu dilembagakan kemajuan-kemajuan yang dicapai ditahun-tahun sebelumnya dan mendorong kemajuan-kemajuan baru ditahun yang akan datang.

Titik tolak inilah yang kemudian melahirkan konsep LDKG.
Dengan mempelajari keputusan-keputusan sidang raya-sidang raya sebelumnya dan dengan memperhatikan perkembangan pemikiran-pimikiran baru yang dilahirkan dari gerakan Oikumene sedunia (DGD) maka di buat suatu daftar mengenai pemahaman keesaan gereja yang menyebut bahwa gereja yang esa itu harus :

1. mempunyai satu pengakuan iman
2. mempunyai satu tata gereja dasar
3. Dapat Beribadah bersama dan merayakan perjamuan kudus (PK)
4. Mempunyai wadah disetiap tingkat untuk bermusyawarah dan menentukan hal-hal yang
    menyangkut pelaksanaan tugas panggilan bersama.
5. Tindakan saling mengakui dan saling menerima.
6. terpanggil untuk memberitakan injil
7. diwarnai oleh tindakan saling membantu dan saling menopang.
Dalam pengembangannya dipadatkan menjadi 5 butir saja yaitu 2 & 4 dijadikan satu dan 3 & 5 disatukan. Dari sini akhirnya lahir lima ciri pokok gereja kristen yang esa di indonesia :
a. Satu pengakuan iman
b. Satu wadah bersama
c. Satu tugas penggilan dalam satu wilayah bersama
d. Saling mengakui dan saling menerima
e. Saling menopang.

Pada sidang BPL-DGI 1981 lahirlah konsep tentang “SIMBOL-SIMBOL KEESAAN” yang meliputi 4 dokumen yaitu :
1. PIAGAM PRASETYA KEESAAN
2. PEMAHAMAN IMAN BERSAMA
3. PIAGAM SALING MENERIMA SALING MENGAKUI
4. TATA DASAR GEREJA
Konsep awal mengenai simbol-simbol keesaan mengalami perluasan, pembaharuan, dan peningkatan sehingga akhirnya lahirlah “LIMA DOKUMEN KEESAAN GEREJA”
(LDKG)
yang terdiri dari :





1. Pokok-pokok Tugas Panggilan Bersama (PTPB)
2. Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK)
3. Piagam Saling Menerima dan Saling Mengakui (PSMSM)
4. Tata Dasar PGI
5. Menuju kemandirian Teologi, Daya dan Dana.

BAB VIII
Oikumene Gereja Bagi Persatuan NKRI
           Jika ditelusuri sejarah kebangsaan Indonesia, tidak dapat dipungkiri bahwa negara Republik Indonesia ini terbentuk melalui perjuangan seluruh komponen bangsa. Baik sebelum dan sesudah proklamasi kemerdekaan RI maupun pada masa sekarang ini, keterlibatan umat kristen dalam perjuangan dan pembangunan nasional selalu di inspirasikan dan dimotivasi semangat kekristenan yang okumenis dan Injili serta rasa memiliki dan semangat perjuangan sebagai bagian dari bangsa.
Yeremia 29:7 ”Usahakanlah kesejahteraan kota kemana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada Tuhan, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu”.  Nats ini mengindikasikan bahwa umat Tuhan tidak dapat melepaskan diri dari lingkungan dan masyarakat dimana dia berada.  Meskipun kondisi umat Tuhan sedang dalam pembuangan di Babilonia, dimana mereka berada dalam tekanan dan penderitaan, tapi mereka diperintahkan Tuhan untuk mengusahakan kesejahteraan kota itu. Tentu perintah ini mempunyai alasan karena mereka sendiri hidup di kota itu. Kesejateraan yang tercipta di kota dimana mereka berada akan merimbas kepada mereka.
          Orang kristen di Indonesia bukan saja hanya tinggal di Indonesia tetapi juga merupakan bagian dan pemilik negeri ini. Karena itu orang kristen mutlak harus memikirkan kesejahteraan negeri ini. Mengusahakan kesejahteraan Indonesia merupakan tanggung jawab orang kristen baik sebagai warga negara terlebih sebagai utusan Tuhan.
Memang sekarang ini tantangan bagi umat Tuhan semakin berat karena maraknya persoalan yang mencabik-cabik rasa persatuan dan kesatuan ditengah anak bangsa. Penghargaan terhadap perbedaan/pluralisme budaya, suku terlebih agama seakan tidak lagi mendapat tempat dihati kebanyakan orang. Istilah minoritas dan mayoritas yang diwariskan orde baru untuk pemuluk agama di Indonesia secara tidak langsung telah juga mengkotak-kotakkan warga negara. Merasa lebih berhak karena lebih mayoritas bagi pemeluk salah satu agama di Indonesia berimplikasi pada tindakan dan keputusan-keputusan yang merendahkan hak-hak setiap warga negara.  Keputusan demokratis atas dasar jumlah suara terbanyak di dalam masyarakat, lembaga-lembaga negara, legislatif akhirnya lebih memihak pada kepentingan mayoritas. Maka muncullah berbagai perundangan yang tidak mencerminkan semangat kebersamaan.
           
Kondisi ini diperparah dengan sikap pemerintah yang tampaknya kurang tegas dalam menyikapinya. Berbagai kasus anti pluralisme berupa pelanggaran hak, kekerasan dan konflik yang timbul tidak ada penyelesaian yang memadai.
A. Pemikiran Keesaan Gereja Dalam Konteks NKRI (pandangan para tokoh oikumene)
Dalam pandangan Pdt.Dr.W.J. Hendriks, bahwa sampai sekarang belum melihat adanya pemimpin yang punya integritas nasional, malah kecenderungan pemimpin sekarang memanfaatkan situasi untuk mengokohkan kedudukan dan kepentingannya.  Padahal bangsa Indonesia yang majemuk ini memerlukan seorang pemimpin yang mempunyai integritas nasional yang tinggi dan mencintai rakyatnya sehingga kebijakan-kebijakannya bermuara kepada kepentingan rakyat bukan kepentingan kelompok tertentu saja. Adanya semangat identitas keagamaan yang berlebihan pada kelompok masyarakat tertentu dengan kecenderungan mengenyahkan pihak lain yang berbeda pandangan dan tafsir agama juga memperparah keadaan.
            Ditengah kondisi-kondisi Indonesia yang semakin retak akibat lunturnya rasa kebangsaan dan penghargaan pluralisme yang semakin kandas, apa yang harus dilakukan oleh gereja untuk memperkokoh persatuan dan kesatuan NKRI? Ini menjadi pertanyaan penting yang mau tidak mau harus dijawab oleh umat Tuhan, sehubungan tanggung jawabnya sebagai warga negara dan sebagai pengemban misi Tuhan seperti yang dimaksudkan pada Yohanes 17:21 yaitu ”bersatu menjadi saksi” dan Yeremia 29:7 ”mengusahakan kesehteraan kota”.
Dalam kaitan gerakan oikumene dalam dinamika pluralisme agama di negara Republik Indonesia, menurut Elga J. Sarapung bahwa gereja memiliki 2 tugas panggilan:
  1. Gereja dipanggil untuk mengembangkan hubungan positif, kreatif, realistis dan trasnformatif dengan pemerintah dan semua pihak di masyarakat.
  2. Gereja dipanggil untuk mengambil bagian dalam mewujudkan perdamaian, keadilan (bagi seluruh rakyat dan tanah tumpah darah Indonesia) dan keutuhan ciptaan di Indonesia.
Menurutnya bahwa permasalahan yang terjadi di negeri ini tidak semata-mata kesalahan dari pemerintah tatapi juga karena gereja belum mampu menjalankan fungsinya dengan baik dan maksimal.
          Gereja dalam hal ini tidak boleh tinggal diam. Gereja baik secara sendiri-sendiri dan bersama-sama (oikumene) perlu terus menyuarakan dan mengingatkan bahwa keadaan yang ada sekarang ini merupakan ancaman yang serius terhadap NKRI di masa depan. Gereja perlu berupaya agar usaha-usaha penggantian ideologi Pancasila menjadi ideologi yang lain tidak menjadi kenyataan, karena ideologi Pancasila sudah final yang mampu menjadi perekat bagi bangsa Indonesia yang majemuk. Pancasila lahir dari wawasan kebangsaan dan kebersamaan yang kuat.

Pdt. Fince Sopamena Latumahina, Ketua GKSS  dalam artikelnya mengatakan bahwa gereja harus berjuang besatupadu dengan semua orang yang berjuang untuk mempertahankan Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara. Gereja berjuang bersama dengan mereka yang memiliki keprihatinan yang sama terhadap nasib NKRI.
          Eksistensi gereja sebagai terang dan garam harus lebih nyata bagi Indonesia dan dunia. Eklusifisme harus dikikis dari kehidupan gereja. Gereja yang hidup adalah gereja yang dinamis, gereja yang menjadi berkat bagi sekelilingnya. Selama ini peran gereja sebagai terang sepertinya semakin melemah.  Mungkin ini disebabkan karena gereja sudah lebih banyak melayani diri sendiri, pelayanan yang bersifat internal saja, dan puas dengan ritual-ritual keagamaan.
Gereja sebagai elemen bangsa tidak boleh tinggal diam dengan semua permasalahan yang ada. Persoalan politik, sosial, ekonomi, dan lain-lain haruslah disikapi dengan bijak dan dicarikan solusinya. Gereja perlu aktif berperan dalam melakukan transformasi menuju Indonesia yang lebih baik ke depan.
Dalam hal kemiskinan misalnya, gereja harus berperan. Pdt Dr A.A Yewangoe menyatakan harapannya agar gereja juga peka dan ikut serta mengatasi problematika kehidupan berbangsa, khususnya menyangkut masalah kemiskinan, karena gereja juga merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari bangsa Indonesia.  “Kemiskinan bukanlah sebuah sebab, tetapi lebih kepada akibat ketidakadilan dan korupsi. Gereja tidak dapat bekerja sendiri dalam upaya mengatasi masalah kemiskinan,” tegasnya.
Gereja harus semakin menyatu dengan keadaan dalam arti dapat melihat dan merasakan persoalan bangsa, dan berperan nyata terhadap persoalan yang ada ditengah-tengah masyarakat. Gereja dipanggil bukan semata-mata mengurus dirinya sendiri tetapi melayani sesama tanpa pandang bulu.
Jemaat-jemaat gereja harus di dorong dan diajar untuk perduli terhadap orang-orang miskin.  Jemaat bisa diberdayakan dengan saling membantu untuk memperhatikan keadaan ekonomi anggota-anggota jemaat dan masyarakat. Salah satu upaya kecil yang mungkin dilakukan adalah dengan memberi pelatihan untuk membuat kerajianan tangan, bercocok tanam, melatih memanfaatkan lahan sempit, dll.
Dalam mengatasi masalah kemiskinan yang kompleks,  gereja juga perlu bekerja sama dengan umat agama lainnya dan dengan rendah hati bersama tanpa membedakan suku, agama dan ras.
Jadi, melihat realitas yang ada, harapan yang dimiliki, tugas panggilan Allah bagi gereja untuk bangsa dan dunia, maka umat Tuhan perlu terus beroikumene, bekerja sama menyuarakan suara kenabian bagi bangsa Indonesia, memikirkan dan mengupayakan terjadinya persatuan dan kesatuan, keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat dalam NKRI


B. Tantangan Oikumene
Setidaknya ada 3 masalah utama yang menghambat usaha-usaha penyatuan gereja dan upaya oikumene yaitu:
  1. Masalah baptisan. Ada gereja-gereja yang menyetujui baptisan anak dan ada yang menolaknya.
  2. Masalah perjamuan kudus. Menurut Roma Katolik dan Gereja Ortodoks, dalam Perjamuan Kudus terjadi transubstansiasi. Artinya, roti dan anggur berubah menjadi daging dan darah Yesus. Gereja-gereja Protestan menganggap bahwa roti dan anggur itu merupakan lambang dari tubuh dan darah Yesus.
  3. Masalah jabatan. Gereja RK, Ortodoks dan Anglikan berpendapat bahwa uskup sebagai pejabat gereja adalah pengganti rasul Petrus. Gereja-gereja Protestan berpendapat bahwa rasul tidak diganti.
Seringkali hal-hal ini menjadi perdebatan antara gereja-gereja yang tidak sepaham. Anggapan yang lain tidak alkitabiah dalam pengajaran atau doktrin menjadi penghalang utama terjadinya oikumene.



















No comments:

Post a Comment