Wednesday, November 19, 2014

SURYA PAGI TELAH DATANG



Surya Pagi Telah Datang
(Masa Advent)
Lukas 1:76-79

Dalam puji-pujian Zakharia (Benedictus), Yesus digambarkankan sebagai “surya pagi dari tempat yang tinggi”. Mengapa Yesus digambarkan sebagai surya pagi?
Bukankah dibelahan bumi dimana kita tinggal ini kita dapat menyaksikan tiap hari matahari yang menyinari bumi? Terbit diwaktu pagi hari dan tenggelam diwaktu petang hari dan selalu berlangsung demikian. Sesuatu yang berjalan normal dan seolah tidak ada hal yang istimewa didalamnya. Bagi kita, surya pagi kelihatannya biasa saja, tidak ada yang luar biasa.
Tetapi benarkah hal yang berjalan normal tersebut tidak nampak luar biasa?
Kalau kita mencoba untuk bangun pagi hari sebelum matahari terbit untuk menikmati sunrice, dan mengamati sebelum dan sesudah matahari terbit. Maka kita akan dapat menyaksikan hal-hal yang luar biasa terjadi.
Saat matahari belum terbit, kegelapan masih meliputi bumi dan suasana begitu sunyi. Menit demi menit kita akan merasakan kegelapan dan kesunyian itu. Akan tetapi saat sinar matahari akan muncul, maka suasananya akan terasa sangat indah sekali, rembang matahari membuat langit menjadi berwarna jingga. Selanjutnya akan ada saat dimana sinar matahari muncul dengan sangat terang, dan itulah yang dinamakan surya pagi. Selanjutnya tidak akan ada lagi kesunyian dan kegelapan, bumi akan kembali semarak dan menjadi terang benderang.
Inilah yang hendak digambarkan oleh Zakharia, bahwa Allah melawat manusia yang sudah ribuan tahun hidup didalam kesunyian dan kegelapan dosa yang melingkupi mereka.
Sejak manusia jatuh dalam dosa maka bumi tidak lagi menjadi tempat yang baik untuk manusia. Dunia ini sejatinya berada di dalam kegelapan. Kejahatan semakin merajalela dan dimana-mana manusia melakukan dosa. Manusia dilahirkan dari orangtua yang berdosa, dan sepanjang hidupnya manusia banyak sekali melakukan dosa. Manusia sejatinya sedang berjalan menuju kebinasaan, termasuk juga kita. Dan Allah tidak pernah kompromi dengan dosa “Sebab upah dosa ialah maut...” (Roma 6:23) dan manusia layak untuk mendapatkan murka Allah itu.
Dalam Alkitab keberadaan manusia yang berdosa didunia kemudian dikaitkan dengan gambaran kegelapan atas keberdosaannya sekaligus suatu pengharapan akan hadirnya Sang Mesias:
 “Sebab sesungguh-nya, kegelapan menutupi bumi, dan kekelaman menutupi bangsa-bangsa; tetapi terang TUHAN terbit atasmu, dan kemuliaan-Nya menjadi nyata atasmu” (Yes. 60:2).
Apa yang disampaikan oleh nabi Yesaya diatas memberikan pemahaman bahwa hanya dalam rahmat dan belas kasihan dari Allah maka Dia berkenan hadir dalam dunia yang telah diliputi oleh kegelapan dosa. Lawatan Allah kepada manusia yang berdosa didunia bukan karena kebaikan dan kesalehan manusia itu sendiri, nabi Yesaya katakan tentang hal ini, Demikianlah kami sekalian seperti seorang najis dan segala kesalehan kami seperti kain kotor; kami sekalian menjadi layu seperti daun dan kami lenyap oleh kejahatan kami seperti daun dilenyapkan oleh angin. (Yes 64:6). Allah sendirilah yang karena kasihNya kepada manusia berinisiatif untuk melawat manusia yang hidup dalam kegelapan dosa. Keselamatan adalah tindakan nyata dari Allah. Dan Allah kita tidak hanya menunjukkan jalan keluar bagi manusia supaya selamat, tetapi Dia sendiri yang mengerjakan karya keselamatan bagi manusia yang berdosa dalam diri Yesus Kristus. Dialah “Sang Surya Pagi” yang telah datang untuk menerangi kegelapan dunia.
Manusia telah menerima “Surya Pagi” dari tempat yang tinggi. Orang-orang percaya kemudian mempunyai pengharapan dan tidak lagi hidup dalam kegelapan. Walaupun saat ini dunia masih dipenuhi kejahatan dan penderitaan, tetapi kita orang percaya dapat senantiasa bersukacita. Karena jika semua ini nanti berakhir, kita tahu bahwa kita akan hidup dan tinggal bersama-sama dengan Allah.
Allah berkenan melawat kita. Siapkan diri untuk menerima lawatan-Nya?
Orang yang mengenal ALLAH dengan baik dan benar akan lebih mudah untuk menyambut kedatangan-Nya dengan sikap yang baik dan benar pula. Pada masa-masa Advent ini marilah kita gunakan “masa persiapan” ini dengan hidup yang mengenal TUHAN dan hidup yang mau diarahkan oleh Firman TUHAN.
Dan selanjutnya, sebagaimana Yohanes Pembabtis yang dipakai Allah untuk membawa umatNya masuk dalam “masa persiapan” untuk menyambut kehadiran “Sang Surya Pagi”, siap sediakah kita untuk dipakai menjadi alat di tangan-Nya guna memimpin orang lain untuk datang kepada Tuhan Yesus Kristus? ~(josafatagung88.blogspot.com)


Tuesday, November 4, 2014

ETIKA (2)


Pola berfikir dan bertindak dalam ETIKA

Etika berbicara tentang APA YANG SEHARUSNYA dilakukan oleh manusia. Tentang apa yang BENAR, BAIK, dan TEPAT.
1.       Cara berfikir etis: DEONTOLOGIS
Cara berfikir etis yang mendasarkan diri pada prinsip dan hukum yang berlaku mutlak dalam kondisi apapun. Deontologis hanya berbicara tentang apa yang BENAR dan yang SALAH.
Cara berfikir etis deontologis memberikan pegangan etis yang jelas dan tegas.
Dalam etika Kristen: cara berfikir deontologis adalah cara yang tepat untuk memahami HUKUM ALLAH.
Kelebihan dan kelemahan cara berfikir DEONTOLOGIS:
Ø  KELEBIHAN: Orang tidak perlu bingung menafsirkan yang benar dan yang salah, karena hukumnya jelas.
Ø  Kelemahan: hidup manusia begitu kompleks dan dinamis, sehingga hampir mustahil mempunyai hukum yang jelas dalam setiap kemungkinan.
Misal: Hukum “jangan membunuh”. Bagaimana hukum tsb bisa diterapkan dalam kehidupan manusia yang kompleks dan penuh dengan dinamika.  Misalnya dalam penerapan hukuman mati, perang, membela diri,dll.
ETIKA DEONTOLOGIS jadi terkesan LEGALIS, BEKU dan KAKU. Dalam prakteknya Hukum ini tidak            lagi malayani manusia, tapi sebaliknya manusia melayani hukum. (seperti yang selalu dikritik         Tuhan Yesus pada orang-orang Farisi dan para ahli Taurat)

2.       Cara berfikir etis: TELEOLOGIS
Teleos artinya “tujuan”. Dalam cara berfikir etis Teleologis orang tahu benar mana yang benar dan yang salah. Akan tetapi yang terpenting adalah: tujuan dan akibat
Cara berfikir teleologis tidak berfikir dalam kategori “benar” atau “salah”, tetapi menurut kategori “baik” dan “jahat”. Betapapun salahnya, kalau bertujuan baik dan berakibat baik, maka ia baik. Betapapun benarnya, kalau dilakukan dengan tujuan jahat, maka ia jahat.
Permasalahan dalam cara berfikir TELEOLOGIS
       Tidak ada ukuran yang obyektif yang dapat dipakai untuk menilai suatu tindakan itu sebagai “Baik” atau “Jahat”.
       Menjadi berbahaya apabila dipakai untuk menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan.
       Bahaya cara berfikir dan bertindak etis teleologis, yaitu sikap hedonism yang berpusat dan bertujuan pada diri sendiri. Apa yang paling baik untuk “saya”, paling gampang untuk “saya”, paling menguntungkan untuk “saya”, tetapi disisi orang lain tindakan yang sama bisa jadi merugikan atau mencelakakan.
Penggabungan Deontologis dan Teleologis
       Tujuan adalah cara yang baik, tetapi juga harus diusahakan dengan cara-cara yang benar.
       Dalam cara berfikir teleologis, aspek-aspek deontologis tidak boleh hilang sama sekali.

3.       Cara berfikir etis KONSTEKTUAL
       Juga disebut sebagai: Etika Tanggung Jawab.
       Cara berfikir konstektual bukanlah berfikir yang secara universal “benar”, atau apa yang secara universal “baik”, tetapi apa yang secara konstektual “bertanggung jawab”.
       Bukan apa yang paling “benar” atau “baik”, tetapi apa yang paling “tepat” pada saat itu.
Cara berfikir KONSTEKTUAL
       Etika konstektual menuntut orang-orang yang bersangkutan mengambil keputusan sendiri: apa yang paling bertanggungjawab dalam keadaan yang khusus itu.
       Tidak ada norma-norma yang berlaku. Semuanya tergantung situasi dan kondisi.
       Cara berfikir yang subyektif. Karena semuanya bergantung pada pertimbangan dan keputusan si pelaku.
Kelemahan cara berfikir Konstektual
       Mudah terjebak dalam etika situasional dan tanpa prinsip. Situasi menjadi pertimbangan pokok.
Bahaya cara berfikir konstektual:
Fungsi etika adalah untuk memberikan pegangan pada manusia mengenai apa yang seharusnya.        Dan apabila semua bergantung pada situasi dan kondisi, maka tidak ada pegangan apa-apa        dalam tindakan etis ini.

Kesimpulan
       Ketiga cara berfikir etis diatas mempunyai kebenarannya sendiri-sendiri. Tetapi juga memiliki keterbatasan sendiri-sendiri.
       Ketiga pilihan etis tersebut bukan untuk dipilih, tetapi untuk dimanfaatkan ketiga-tiganya.
       Setiap tindakan etis yang bertanggungjawab adalah tindakan yang seharusnya BENAR, BAIK, dan TEPAT.
(JAP)

ETIKA (1)


ETIKA SEBAGAI ILMU

Yang menjadi ciri khas manusia dibanding  dengan makhluk lain adalah, Manusia adalah makhluk yang bertanya.
Manusia selalu mempunyai keinginan bahkan bisajadi merupakan suatu kebutuhan untuk mengetahui  segala sesuatu yang ada disekitarnya. Dan apabila yang diketahuinya itu tidak sesuai dengan yang diinginkannya, maka ia akan berusaha untuk mengubahnya.  Dan bila ia tidak mungkin merubahnya, maka ia yang akan menyesuaikan dirinya.
Sebagai makhluk yang bertanya, manusia sudah mulai bertanya sejak ia lahir tentang apapun yang ada disekitarnya,  contoh:
  1. Bertanya dengan matanya
  2. Bertanya dengan tangannya
  3. Bertanya dengan mulutnya
Dan kemudian sesuai dengan perkembangan usianya maka kemudian manusia mulai bertanya dengan pertanyaan paling dasar, Apa? What is?
Hal ini menggambarkan bahwa manusia tidak betah untuk hidup dalam rahasia dan manusia seolah tidak dapat hidup apabila kehidupan disekitarnya adalah kehidupan yang tidak dapat ia mengerti atau tidak dapat dipahaminya.
Dan pertanyaan “apa” ini adalah pertanyaan yang biasa dilontarkan anak-anak yang didorong oleh rasa ingin tahunya tentang hal-hal yang ia rasa asing dan belum dia ketahui. Namun demikian orang dewasapun juga bertanya tentang “apa” ini, karena walaupun usia sudah dewasa tetapi masih banyak hal yang belum diketahuinya, terutama untuk hal-hal yang baru. Pertanyaan dasar tentang “apa” tersebut digunakan untuk memuaskan manusia dari rasa keingin-tahuannya. Oleh karena itu pertanyaan tentang “apa” merupakan pertanyaan yang abadi sepanjang usia manusia.
Apakah manusia puas cukup apabila telah mengetahui “apa” yang ada atau terjadi disekitarnya? Jawabnya: BELUM!
Setelah manusia mendapatkan jawaban dari hal yang belum diketahuinya tersebut, maka kemudian akan timbul pertanyaan berikutnya, Mengapa? Why?
Hal ini menggambarkan bahwa ternyata manusia tidak pernah puas dengan jawaban dari pertanyaan “apa” tersebut, walaupun dia sudah mengetahui apa yang belum diketahui sebelumnya. Dan ingin tahu lebih lanjut dari apa yang baru saja diketahuinya itu.
Untuk menjawab pertanyaan “apa” maka dibutuhkan adalah sebuah “nama”
Dan untuk menjawab pertanyaan “mengapayang diperlukan adalah suatu “gagasan”. Dan “gagasan” tersebut terletak pada akal manusia. Akal inilah yang kemudian mengamati, menimbang-nimbang, dan mengambil kesimpulan bahwa apa yang baru diketahuinya tersebut dapat ada atau terjadi karena suatu sebab. Dan akal manusia yan mengamati, menimbang-nimbang, dan kemudian mengambil suatu kesimpulan itulah yang disebut sebagai HAKEKAT ILMU.
ILMU selalu berusaha mencari dan merumuskan hukum-hukum yang berlaku yang ada dibalik peristiwa-peristiwa atau kenyataan-kenyataan tertentu.
Tetapi ternyata akal manusia juga memiliki keterbatasan walaupun akal manusia selalu mempunyai sifat “ingin tahu”. Akal manusia tidak selalu dapat menjawab semua pertanyaan & tidak selalu dapat mengungkap semua rahasia, misalnya tentang kematian.Wilayah yang tidak dapat dipahami oleh akal manusia ini disebut dimensi suprarasional dalam hidup manusia.
Untuk menjawab pertanyaan dasar “apa” yang dibutuhkan adalah sebuah “nama”. Tetapi untuk menjawab pertanyaan “MENGAPA”, Manusia membutuhkan 2 hal yaitu: Akal & Iman atau Ilmu & Agama.
Akal & Ilmu berguna untuk menjawab hal-hal yang berada dalam batas kemampuan/pemahaman akal manusia.
Sedangkan Iman & Agama, adalah untuk memahami hal-hal yang ada diluar kemampuan akal manusia untuk memahaminya.
Ketika ilmu belum berkembang, maka agama yang menjawab. Misalnya tentang sakit kusta, akal dan ilmu yang ada dalam diri manusia pada waktu yang lalu belum dapat menjawab tentang “apa” sakit kusta  itu, dan “mengapa” penyakit itu bisa terjadi. Sehingga kemudian wilayah iman & agama yang menjawab, bahwa sakit kusta adalah “penyakit kutukan dari Tuhan”.
Maka kesimpulan dari pertanyaan “mengapa” dalam kaitannya dengan Akal & Iman atau Ilmu & Agama adalah: untuk hal-hal yang dapat dijawab secara ilmiah, biarlah ilmu yang menjawabnya. Dan untuk hal-hal yang tidak dapat dimengerti/dipahami akal manusia, maka biarlah iman & agama yang menjawabnya.
Manusia memerlukan keduanya untuk memuaskan pertanyaan “mengapa” yaitu: Akal & Iman atau Ilmu & Agama. Untuk itulah maka manusia tidak hanya berakal atau berilmu, tetapi juga penting untuk beriman dan beragama.
Akal & Iman; Ilmu & Agama:
Ø  Masing-masing mempunyai fungsinya sendiri-sendiri dalam diri manusia.
Ø  Dan keduanya (Akal & Iman atau Ilmu & Agama) tidak hendak saling bersaing, karena keduanya memiliki wilayah/dimensi masing-masing dalam diri manusia.
Karena keduanya (Akal & Iman atau Ilmu & Agama) mempunyai wilayah/dimensi masing-masing dalam diri manusia, maka dapat disimpulkan demikian,
Ø  Ilmu tidak akan menjadi ilmiah bila menjadi satu agama.
Ø  Agama akan berubah menjadi tahayul apabila ditafsirkan sebagai ilmu.

Pertanyaan manusia (lanjutan)
Bagaimana Seharusnya (what ought)
Pertanyaan tentang “bagaimana seharusnya” ini berasal dari kesadaran manusia tentang apa yang benar dan apa yang salah, baik dan jahat, tepat atau tidak tepat. Maka inilah yang disebut sebagai Kesadaran etis manusia.
Kesadaran etis manusia ini adalah kesadaran tentang norma-norma. Dan norma-norma inilah yang kemudian pada penerapannya mampu mengendalikan tingkah laku manusia, dan manusia tidak hanya mengikuti dorongan nalurinya saja.
Satu misal demikian, tentang hal makan pada binatang, binatang digerakkan oleh nalurinya untuk memuaskan perutnya. Tentu saja hal ini berbeda dengan manusia, tentang hal makan manusia tidak saja digerakkan nalurinya atas desakan untuk memuaskan perutnya, tetapi juga dikendalikan oleh norma-norma.
Misalnya: kambing akan makan rumput untuk memuaskan nalurinya atas desakan kebutuhan perutnya, maka saat makan rumput kambing tindak akan peduli rumput siapa yang dimakannya.
Hal ini tentunya berbeda dengan manusia bukan?

Selanjutnya tentang norma-norma yang mengatur tentang “bagaimana manusia seharusnya” ternyata tidak dapat berlaku sama disemua tempat. Norma yang mengatur bagaimana manusia seharusnya ternyata memiliki standart yang berbeda-beda dari satu orang dan orang yang lain, kelompok satu dengan kelompok yang lainnya. Satu contoh adalah tentang poligami atau memiliki istri lebih dari satu. Praktek-praktek poligami sangat ditentang karena praktek tersebut diyakini merendahkan derajat wanita. Tetapi pada tempat dan kelompok orang tertentu, poligami justru diyakini sebagai simbol status dari orang tertentu, misalkan status seorang kepala suku/raja.
Oleh karena itu, dalam norma yang mengatur bagaimana manusia seharusnya, ternyata tidak ada batasan yang jelas dalam norma yang berlaku dalam satu orang/kelompok dengan orang/kelompok yang lain. Atau dapat dipahami dalam satu pengertian bahwa, semua orang memiliki kesadaran etis masing-masing. Dan kesadaran etis yang ada dalam diri satu/kelompok manusia ini belum dapat dikatakan sebagai etika.
Lalu apa itu ETIKA?
Etika adalah ilmu atau study mengenai norma-norma yang mengatur tingkah laku manusia.
Atau dapat dikatakan dengan kalimat yang lebih sederhana: Etika berbicara tentang APA YANG SEHARUSNYA dilakukan oleh manusia. Tentang apa yang BENAR, BAIK, dan TEPAT.
(JAP)