Monday, November 3, 2014

BAGAIMANA GEREJA MEMANDANG PENYALAHGUNA NAPZA


BAGAIMANA GEREJA MEMANDANG PENYALAHGUNA NAPZA
(Narkotika, Psikotropika & Zat Adiktif lainnya)

                Fenomena penyalahgunaan NAPZA telah menjadi realitas yang sangat pemprihatinkan ditengah-tengah masyarakat kita dewasa ini, bahkan telah tumbuh menjadi sebuah epidemi kemanusiaan di Indonesia yang dikenal sebagai negara agamis. Karena fakta-fakta yang muncul di lapangan menyatakan bahwa NAPZA telah merambah di semua kalangan dari semua strata sosial yang ada di masyarakat, yang mana mereka semua bukanlah orang-orang yang tidak beragama. Tidak sedikit diatara mereka penyalahguna NAPZA  adalah mereka yang rajin menjalankan praktek-praktek keagamaan, bahkan terlibat dalam pelayanan keagamaan.
NAPZA juga telah masuk disemua golongan usia, baik usia tua maupun muda, usia dewasa maupun anak-anak, Usia produktif sampai dengan usia sekolah. Menurut data Badan narkotika Nasional (BNN), Untuk kategori usia 15 sampai dengan 24 tahun jumlah korban mencapai 65% dari korban penyalahgunaan NAPZA secara keseluruhan.
Dan diatara mereka para penyalahguna NAPZA adalah orang-orang Kristen atau warga gereja. Bahkan tidak sedikit diatara mereka adalah mereka yang aktif dalam aktivitas kerohanian didalam gereja. Hal inilah yang memprihatinkan kita semua, karena epidemi kemanusiaan yang bernama NAPZA telah masuk dalam dalam sendi-sendi gereja dan menggejala dalam praktek hidup sehari-hari jemaat.
                Dengan memahami hal tersebut, rasanya kita harus semakin sadar bahwa masalah penyalahgunaan NAPZA adalah persoalan besar. Dan hal ini menantang bagi kita orang percaya sebagai “gereja” Tuhan untuk tidak hanya berpangku tangan dengan nyaman dibalik  “tembok gereja” yang telah dilembagakan, sementara epidemi kemanusiaan telah menggerogoti sendi-sendi gereja.
Dan kemudian timbul satu pertanyaan kita bersama apabila melihat fenomena penyalahgunaan NAPZA telah mulai merusak sendi-sendi gereja. Pertanyaan tersebut adalah, apakah fungsi gereja hadir didunia ini apabila kita sebagai “gereja” hanya diam menjadi penonton dan merasa aman serta nyaman berlindung dibalik gereja yang telah dilembagakan, sedangkan epidemi kemanusiaan yang bernama NAPZA tengah berlangsung dan telah mulai merusak sendi-sendi gereja itu sendiri?
Jawaban yang mudah bagi jemaat gereja yang tidak terlibat dalam penyalahgunaan NAPZA ini adalah, “yang penting bukan saya, bukan anak-anak saya, bukan keluarga saya”. Apakah jawaban kita juga seperti itu?
Apabila kita menyatakan diri sebagai pengikut Kristus, maka sepatutnya kita melihat para penyalahguna NAPZA ini dalam “kacamata rohani”, bahwa mereka pada prinsipnya adalah domba-domba Allah yang sedang tersesat dan matanya telah dibutakan dengan ilah-ilah yang muncul pada jaman modern ini. Maka sudah menjadi kewajiban kita bersama sebagai “gereja” Tuhan untuk menjadi kepanjangan tangan Allah, mencari dan membimbing mereka untuk kembali ke jalan Tuhan.
                Apabila kita sadar untuk terlibat dalam salah satu permasalahan bangsa kita ini, yang juga terbukti telah merambah dalam diri jemaat Tuhan didalam gereja. Maka kita dapat memulainya dengan memperbaiki cara pandang kita terhadap mereka para penyalahguna NAPZA ini.

Bagaimana kita memandang permasalahan NAPZA ini?
Seringkali kita dan juga kaum profesional dalam bidang kesehatan terjebak dalam paradikma bahwa penyalahgunaan NAPZA adalah tidak lebih dari kasus medis belaka. Dan sebagai kasus medis, maka penyalahguna NAPZA diposisikan sebagai pasien yang menjadi obyek prosedur medis, yaitu orang yang sakit diobati supaya sembuh.
Demikian juga dengan kaum profesional dalam bidang hukum terjebak dalam satu penilaian bahwa penyalahguna  NAPZA adalah para pelanggar hukum, dan karenanya mereka harus dihukum sesuai dengan prosedur hukum.
Tetapi permasalahan penyalahgunaan NAPZA tidak sesederhana itu.
Kasus penyalahgunaan NAPZA seperti “gunung es ditengah lautan” yang hanya nampak sebagian kecil saja yaitu bagian atasnya. Sedangkan permasalahan penyalahgunaan NAPZA mempunyai akar permasalahan yang rumit dan kompleks yang teranyam dalam jaring-jaring kehidupan manusia itu sendiri. Kasus penyalahgunaan NAPZA memiliki hubuangan kausalitas (sebab-akibat) dengan krisis multi dimensi umat manusia. Baik krisis mental kepribadian, krisis spiritual, krisis moral, krisis sosial, dan krisis hukum, dsb. Dan hal itu berarti kasus penyalahgunaan NAPZA tidak dapat dilepaskan dengan situasi dan kondisi yang melatarbelakangi para penyalahguna NAPZA tersebut.
Demikian pula dampak yang ditimbulkan oleh penyalahguna NAPZA juga meliputi seluruh aspek kehidupan, baik secara fisik, mental, spiritual dan sosial.
Jadi cara pandang kita terhadap penyalahgunaan NAPZA iniharus menyeluruh dan utuh (holistik).
                Masalah penyalahgunaan NAPZA bukan hanya persoalan pelanggaran hukum Tuhan karena mabuk-mabukan, kasar, kejahatan, pesta pora, perzinahan, dan lain sebagainya sebagai perbuatan daging (Galatia 5:19-21) yang berakibat pada hilangnya hak kewarganegaraan surga (1 Korintus 6: 10) “pencuri, orang kikir, pemabuk, pemfitnah dan penipu tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah.”
Bukan juga permasalahan ocultisme, dimana iblis mempengaruhi manusia dengan tawaran kenikmatan semu dari NAPZA yang membuat orang terbius dan kehilangan kesadaran, berkepribadian ganda dan menentang kebenaran (Markus 5:1-13).
Permasalahan penyalahgunaan NAPZA adalah menyangkut makna hidup dan hakikat hidup manusia itu sendiri.
Antropologi Yahudi memandang manusia sebagai satu kesatuan yang utuh antara jiwa dan tubuh. Penggunaan istilah ruakh (roh), nefesy (jiwa), dan bazar (daging/tubuh) tidak bermaksud hendak menggambarkan manusia yang terpecah-pecah, tetapi lebih diarahkan untuk menggambarkan manusia sebagai satu pribadi dalam keseluruhan eksistensinya. Demikian juga pandangan rasul Paulus yang dipengaruhi oleh helenisme menggambarkan manusia dengan istilah psuke (nyawa), pneuma (roh), kardia (hati), nous (akalbudi), sunaidesis (hati nurani), esoantropos (manusia batin), soma (tubuh), dan sarx (daging/keinginan jahat) menggambarkan manusia sebagai satu kesatuan pribadi yang utuh, walaupun memiliki banyak eksistensi dalam dirinya.
Hal inilah yang jelas membedakan anatar manusia dengan binatang atau ciptaan Tuhan yang lainnya. Sekalipun manusia dicipta Allah dari debu tanah, tetapi ia menerima hidup dari Nefesy Allah (Kejadian 2:7) dan berpredikan sebagai Imago Dei atau gambar Allah (Kejadian 1:27). Hal inilah yang menjadi makna hidup manusia yang diciptakan dalam keutuhannya supaya dapat menjadi mitra Allah yang mengemban amanat budaya dari Allah (Kejadian 1:28) untuk melestarikan bumi dan segenap apa yang ada didalamnya termasuk manusia itu sendiri, guna mewujudkan kerajaan Allah dibumi.
Tetapi ternyata pada kenyataannya manusia telah merusaknya, termasuk manusia telah merusak dirinya sendiri sebagai Imago Dei, sehingga kemudian gagal untuk menjadi mitra Allah yang baik.
Itulah sebabnya, Allah melaui pribadi Yesus Kristus telah berkenan hadir didunia untuk mengembalikan manusia pada keutuhannya, Yohanes 10:10b “....Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan.”
                Kedatangan Tuhan Yesus kedunia menurut Injil Yohanes 10:10 ini adalah, supaya manusia yang telah jatuh dalam dosa dapat kembali hidup dalam segala kelimpahan Allah. Ini adalah cara pandang holistik atau keutuhan yang berpusat pada Roh Kudus. Dan dengan cara pandang misi Tuhan Yesus yang demikian, maka kita akan dapat memahami tentang kerajaan surga yang diserukan oleh Yohanes Pembabtis tentang kedatangan Tuhan Yesus, "Bertobatlah, sebab Kerajaan Sorga sudah dekat!"(Matius 3:2). Dan kemudian dipertegas oleh Tuhan Yesus sendiri saat mengawali pelayananNya, “Sejak waktu itulah Yesus memberitakan: "Bertobatlah, sebab Kerajaan Sorga sudah dekat!" (Matius 4:17).
Tuhan Yesus bukan hanya melayani dengan mengabarkan Injil saja, tetapi juga mewujudnyatakan pengajaranNya dengan tindakan, pembebasan, dan pemberdayaan. Tuhan Yesus tidak hanya menyampaikan kebenaran Allah dengan kata-kata, tetapi juga menyentuh seluruh aspek hidup manusia sesuai dengan kebutuhannya.
Kepada yang sakit, Tuhan Yesus memberikan kesembuhan. Kepada yang berdosa, Tuhan yesus memberikan pengampunan. Kepada yang kelelahan dan putus asa, Tuhan Yesus memberikan semangat dan dorongan. Kepada yang jiwanya kering dan rohaninya haus akan kebenaran, Tuhan Yesus memberikan “air kehidupan”. Kepada yang lapar, Tuhan Yesus memberi makan. Kepada yang tersisih, Tuhan Yesus memberikan kasih sayang, dll. Seluruh pelayanan Tuhan Yesus ditujukan untuk menyelamatkan manusia dan seluruh aspek kehidupannya. Melalui hidup, pelayanan sampai dengan kematianNya, Tuhan Yesus hendak menciptakan Syallom Lukas 4:18-19,
"Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang."
Dan kedatangan Tuhan Yesus kedunia bukan untuk menghukum manusia, tetapi hendak meyelamatkan manusia yang terhilang daripadaNya karena dosa-dosanya.
Inilah dasar pastoral yang harus digunakan dasar untuk memberikan bimbingan pastoral bagi para penyalahguna NAPZA ini.
                Para penyalahguna NAPZA pada dasarnya adalah domba-domba Allah yang terhilang/tersesat, terjerat dan terjerumus dalam kegelapan, yang sesungguhnya dia sendiri tidak berdaya untuk melihat kembali ke jalan yang terang. Mereka adalah orang-orang yang telah kalah dalam pertarungan dalam mempertaruhkan hidup sebagai “gambar Allah”. Mereka adalah orang-orang yang tidak berdaya melawan kuasa jahat yang mencengkeram. Mereka adalah orang-orang yang telah dibutakan perihal hidup yang benar. Mereka adalah orang-orang yang telah terjerumus dalam kehidupan yang semu. Dan mereka adalah orang-orang yang telah tersesat dalam belantara kehidupan manusia modern saat ini dan tidak pernah tahu harus berbuat apa dan bagaimana.
Tugas pelayanan Tuhan Yesus yang hendak menciptakan syallom (Lukas 4: 18-19) inilah yang seharusnya diteladani oleh setiap orang yang mengaku sebagai “murid Kristus”. Dan sebagai murid Kristus, kita harus dapat melanjutkan tugas pelayanan Kristus didunia ini untuk mencari dan menyembuhkan “domba-domba” Allah yang tersesat dan terluka. Serta menunjukkan jalan terang kepada mereka, serta memberikan pemahaman akan makna penciptaan dalam terang yang baru.
Sudah siapkah “gereja-gereja” Tuhan untuk itu? (JAP)





No comments:

Post a Comment