BAB I
PENGERTIAN DAN LATAR
BELAKANG GERAKAN OIKUMENE
A. Pengertian Oikumene
Oikumene umumnya
dipahami secara terbatas yaitu sebagai suatu istilah yang dipakai untuk
perkumpulan lintas denominasi berupa kegiatan-kegiatan atau ibadah bersama,
tanpa menekankan tata cara peribadatan atau liturgi dan doktrin gereja
tertentu.
Di tengah begitu
banyak gereja Kristen dengan pelbagai nama dan sejarah asal-usul, pembentukan
dan berdirinya masing-masing, ternyata muncul kata ‘oikoumene’ yang menyatakan
kerinduan semua gereja itu untuk mempersekutukan diri dalam semangat kerja sama
dan saling membantu. Oikoumene bersal dari dua kata Yunani ‘oikos’ (rumah) dan ‘menein’ (tinggal) yang
secara harafiah berarti ‘tinggal bersama dalam satu rumah’. Selanjutnya,
pemahaman terhadap kata oikoumene diperluaskan meliputi seluruh dunia dan semua
manusia.
Sekalipun dalam
arti sempit hendak mengungkapkan suasana bersekutu dan bersaudara dalam
lingkungan gereja dan orang Kristen. Secara populer dipahami di tengah
jemaat-jemaat Kristen, bahwa ‘oikoumene’ adalah apabila selaku orang yang
sama-sama mengakui Tuhan Yesus dan Juru selamat dapat mengusahakan kerja sama
dan persekutuan anak-anak dari satu Bapa.
Dalam pemahaman yang lebih luas, bahwa manusia yang berada di dalam dunia yang sama,
memiliki latar belakang budaya dan agama yang berbeda-beda (majemuk), karena
itu oikumene menjadi dasar pendekatan bagi hubungan persekutuan dalam
kemajemukan tersebut. Disini budaya dan agama tertentu tidak lebih
menonjol dan lebih utama, tetapi kemajemukan itu secara bersama-sama memberi
tempat bahkan mengupayakan apa yang menjadi kepentingan bersama/umum.
Dalam kekristenan, oikumene dapat dimaknai sebagai upaya untuk mempersatukan
orang-orang Kristen lintas denominasi di dalam satu kesatuan tubuh Kristus
untuk secara bersama-sama melaksanakan misi Tuhan bagi dunia.
B. Latar Belakang
Gerakan Oikumene
Para ahli sejarah
gereja cenderung memilih konperensi Pekabaran Injil Sedunia di Edinburgh 1910,
sebagai titik mula lahirnya gerakan Oikumene Internasional. Walaupun sebenarnya
Gerakan Oikumene sudah dirintis pada zaman Reformasi bahkan sebelumnya, di mana
gereja-gereja di Eropa mulai mengadakan pendekatan untuk mewujudkan
kesatuannya. Tetapi jika diselidiki lebih jauh, sebenarnya sebelum konperensi
Edinburgh 1910, pergerakan Oikumene baru dirintis oleh beberapa negara dan
belum dalam kategori Internasional.
Nantinya pada konperensi Edinburgh baru dapat
dikatakan Internasional, karena terdiri dari berbagai negara di dunia dan
diikuti oleh 1200 delegasi dari 159 Badan Misi. Salah satu yang berhasil
disimpulkan dalam konperensi itu yakni mengenai kerja sama dan pemupukan
keesaan. Hal ini juga membawa gereja yang muda untuk memikirkan ke arah gereja
yang dewasa. Hal-hal ini penting bagi gerakan keesaan gereja di kemudian hari,
khususnya untuk gereja-gereja di Indonesia yang masih muda.
Pada
tanggal 22 Agustus 1948 diadakan pembentukan DGD di Amsterdam, yang merupakan
penggabungan dari Gerakan Life and Work
dan Gerakan Faith and Order. Dewan
ini mengadakan sidang raya I yang dihadiri oleh 351 utusan dari 147 gereja dan
di dalamnya termasuk perutusan dari Indonesia.
BAB II
OIKUMENE DALAM PERSPEKTIF
ALKITAB
Dalam pengamalan kehidupan gereja, tugas
gereja tak hanya mengurus urusan di sorga, sesudah orang meninggal dunia,
tetapi juga mengurus urusan di dunia, selagi orang masih hidup sekarang ini.
Itulah sebabnya, gereja juga terpanggil untuk ikut serta membangun bangsa,
negara dan masyarakat, di mana gereja itu ditempatkan Tuhan. Keterlibatan
dalam pembangunan benar-benar dinampakkan; kepedulian terhadap masalah
kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan juga dinyatakan; sikap kritis
terhadap masalah keadilan, pemerataan dan kesejahteraan ditampilkan, karena
memang begitu seharusnya kehidupan gereja dan orang-orang Kristen yang menjadi
anggotanya. Landasannya: pesan Tuhan Yesus, agar apa yang telah dilakukan-Nya
dilanjutkan oleh para pengikut-Nya (Lukas 4:18-21; Yohanes 13:12-17).
Berikutnya, gereja Kristen bukan lembaga eksklusif
atau isolatif, yang menutup diri dan tidak berhubungan dengan
pihak-pihak lain, sebaliknya, bahwa gereja Kristen itu inklusif dan partisipatif,
terhisap dan terlibat dalam menganggulangi problem-problem sosial
kemasyarakatan bekerja sama dengan pihak-pihak lain, baik pemerintah, maupun
kelompok-kelompok masyarakat yang lain.
Dengan
memperhatikan prinsip hidup dan hakekat gereja Kristen, maka gereja Kristen
adalah mitra pemerintah dan mitra kelompok-kelompok masyarakat dalam kaitan
dengan hal-hal yang konstruktif.
Selanjutnya, secara khusus dan sempit hendak
difokuskan perhatian kita kepada lingkungan gerejawi dan Kristiani dari gereja
Kristen itu sendiri. Maksudnya siapa dan bagaimana gereja itu dan siapa dan
bagaimana kelompok Kristen itu.
Hal ini penting,
mengingat ada begitu banyak denominasi (aliran) gereja, padahal semuanya
menyatakan diri sebagai kelompok Kristen. Untuk orang Kristen sendiri sering
‘merk’ gereja yang begitu banyak amat membingungkan, apalagi untuk orang
non-Kristen. Itulah sebabnya perlu ada penjelasan tentang ” banyak anggota tetapi satu tubuh”
A. Banyak Anggota, Tetapi Satu Tubuh
Pesan dalam Alkitab sudah jelas, bahwa tubuh Kristus hanya satu saja, sedang anggota-anggotanya banyak dan semuanya dipersatukan dalam satu Tuhan, satu iman dan satu baptisan (I Korintus 12:12-27; Efesus 4:3-6). Juga Tuhan Yesus melukiskan persekutuan itu dalam perumpamaan pokok anggur yang benar dengan ranting-rantingnya (Yohanes 15:1-8); kawana domba yang dipimpin oleh seorang Gembala yang baik yakni Tuhan Yesus sendiri (Yohanes 10:10b-14); Ia pun mendoakan, ‘supaya semuanya menjadi satu’ (Yohanes 17:21).
Pesan dalam Alkitab sudah jelas, bahwa tubuh Kristus hanya satu saja, sedang anggota-anggotanya banyak dan semuanya dipersatukan dalam satu Tuhan, satu iman dan satu baptisan (I Korintus 12:12-27; Efesus 4:3-6). Juga Tuhan Yesus melukiskan persekutuan itu dalam perumpamaan pokok anggur yang benar dengan ranting-rantingnya (Yohanes 15:1-8); kawana domba yang dipimpin oleh seorang Gembala yang baik yakni Tuhan Yesus sendiri (Yohanes 10:10b-14); Ia pun mendoakan, ‘supaya semuanya menjadi satu’ (Yohanes 17:21).
Dalam wujud gereja dan kesatuan-kesatuan
organisasi gereja, ternyata sejarah mencatat ada begitu banyak kesatuan
organisasi gereja di dunia dan di Indonesia, sehingga sering membuat orang
bertanya: kenapa gereja tidak satu saja organisasinya? Untuk menjawab
pertanyaan tersebut, kita perlu menelusuri jejak-jejak sejarah gereja sejak
zaman dahulu sampai zaman sekarang ini. Boleh dikatakan, bahwa gereja memang
mengalami proses kehidupan yang tidak selalu mulus. Ada banyak persoalan dan
pergumulan yang susul-menyusul, sehingga membentuk berdasarkan pokok-pokok
ajarannya masing-masing adanya denominasi (aliran) gereja. Itulah yang kemudian
diwariskan kepada kita yang hidup pada masa kini.
Kita bayangkan,
bahwa gereja mengalami pergumulan ajaran gereja sejak tahun-tahun permulaan
kehadiran gereja. Kita mengenal tokoh-tokoh seperti Augustinus, Origenes,
Tertullianus, Athanasius dll., dengan kemahirannya masing-masing dalam
menghayati ajaran gereja. Lalu tersusunlah Pengakuan Iman Rasuli pada sekitar
abad IV Masehi. Kemudian sampailah pada Skisma (Perpecahan) Pertama pada tahun
1054 dan terbentuk gereja Yunani Katolik dan Roma Katolik dengan kekhususannya
masing-masing. Pada tanggal 31 Oktober 1517 Martin Luther memulai Reformasinya
dengan memasang 95 dalil di pintu gereja Wittenberg di Jerman dan muncul aliran
Protestan. Lalu pada tahun 1534 hadir gereja Anglican yang tidak berangkat
karena perbedaan ajaran, tetapi usaha Raja Henry VIII dalam memikirkan suksesi
bagi takhtanya. Sesudah itu bermunculanlah aliran-aliran gereja baru di
kalangan kaum Protestan, sehingga makin ramailah suasana kehidupan gereja
Protestan dan orang lain menyebutnya sebagai ‘penyakit Protestanisme’ yakni
perpecahan demi perpecahan. Maka kita mengenal aliran-aliran seperti Lutheran,
Calvinis dengan Reformed dan Re-reformed (Gereformeerd)-nya, Baptis, Methodis
dengan perpecahan berikutnya Bala Keselamatan, Pentakosta, Adven, Injili dll.
B. Keesaan
Gereja itu secara rohani
Pandangan ini sejalan dengan pernahaman akan
arti Gereja yaitu adanya Gereja yang kelihatan dan Gereja yang tidak kelihatan.
Gereja yang sesungguhnya yang terdiri dari orang yang percaya kepada Tuhan
Yesus, sudah mempunyai satu kesatuan dalam Kristus. Jadi keesaan yang
sesungguhnya adalah bersifat rohani.
Keesaan Gereja
terletak dalam berkata dan berbuat
Seperti yang
difirmankan dan diperbuat oleh Bapa dan Anak; atau dengan kata lain, kesatuan
dalam karya/tugas sesuai dengan kehendak Bapa dan Anak. Kesatuan orang beriman
atau kesatuan Gereja, jikalau itu adalah kesatuan seperti yang dirindukan oleh
Kristus di dalam doaNya, maka itu terletak di dalam berkata-kata dan berbuat
seperti apa yang difirmankan dan diperbuat oleh Bapa dan Anak.
C. Keesaan Gereja Yang Rohani
Dalam mengungkapkan secara menyeluruh kekayaan
Alkitab dan pemahaman teologis
mengenai Oikumene adalah terlalu luas untuk menjangkaunya. Oleh sebab itu
pembahasan selanjutnya akan dibatasi dengan hanya melihat penggunaan istilah
Oikumene dan meneliti beberapa bagian Alkitab yang membicarakannya serta
implikasinya bagi Gereja.
Kata Oikumene dalam Alkitab dipergunakan
beberapa kali. Dalam septuaginta, kata Oikumene diterjemahkan dari bahasa
Ibrani untuk kata dunia atau bumi. Sedangkan dalam Perjanjian Baru sendiri
setidaknya ada 15 kali dipergunakan. Kata Oikumene kadang-kadang dipergunakan
dalam arti politis penuh, artinya seluruh wilayah kekaisaran Romawi (Lukas 2:1,
bandingkan Kis. 11:28; 19:27; 24:5). Pada bagian lain kata Oikumene diartikan
secara teologis penuh, yaitu seluruh dunia yang akan ditaklukkan di bawah
pemerintahan Kristus (Ibrani 2:5). Tetapi pada dasarnya kata Oikumene berarti
seluruh dunia yang didiami. Injil diberitakan di seluruh dunia/oikumene (Mat.
24:14). Dunia/oikumene dihakimi oleh Yesus Kristus (Yoh 3:17, band. Lukas
21:26). Kerajaan dunia/oikumene ditunjukkan kepada Yesus oleh setan (Lukas
4:5). Demikian juga bagian-bagian lain (Kis. 17:6; Roma 10:18; Ibrani 1:6; 2:5;
Wahyu 3:10; 12:9; 16:14) diulang, atau pengembangan dari arti di atas.
Yohanes 17:21 supaya mereka semua menjadi
satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau,
agar mereka juga di dalam Kita, supaya dunia percaya, bahwa Engkaulah yang
telah mengutus Aku
17:22
Dan Aku telah memberikan kepada mereka kemuliaan, yang Engkau berikan
kepada-Ku, supaya mereka menjadi satu, sama seperti Kita adalah satu:
17:23
Aku di dalam mereka dan Engkau di dalam Aku supaya mereka sempurna menjadi
satu, agar dunia tahu, bahwa Engkau yang telah mengutus Aku dan bahwa
Engkau mengasihi mereka, sama seperti Engkau mengasihi Aku.
Doa Yesus diatas
yang menjadi landasan kita akan semangat Oikumene, dimana kita umat yang
percaya adalah satu Kesatuan. Dalam kesatuan inilah Tuhan memberikan
KemuliaaNya kepada kita dan menjadi sempurna di dalam Dia.
Dalam Surat Rasul
Paulus dan surat Rasul Yakobus menasihati kita, akan pentingnya Kesatuan Umat,
karena yang mempersatukan kita adalah satu Tuhan, satu Allah dan satu Baptisan.
tanpa perpecahan melainkan supaya kita erat bersatu , sehati sepikir.
Efesus
4:3
Dan berusahalah memelihara kesatuan Roh oleh ikatan damai sejahtera:
4:4
satu tubuh, dan satu Roh, sebagaimana kamu telah dipanggil kepada satu
pengharapan yang terkandung dalam panggilanmu,
4:5
satu Tuhan, satu iman, satu baptisan,
4:6 satu Allah
dan Bapa dari semua, Allah yang di atas semua dan oleh semua dan di dalam
semua.
I Korintus
1:10.
Tetapi aku menasihatkan kamu, saudara-saudara, demi nama Tuhan kita Yesus
Kristus, supaya kamu seia sekata dan jangan ada perpecahan di antara kamu,
tetapi sebaliknya supaya kamu erat bersatu dan SEHATI SEPIKIR.
Yakobus 4:1
Dari manakah
datangnya sengketa dan pertengkaran di antara kamu? Bukankah datangnya dari
hawa nafsumu yang saling berjuang di dalam tubuhmu?
Tetapi Kesatuan
Umat ini bukan menjadi hal yang mudah dilakukan, perselisihan antar Golongan
(denominasi) sudah terjadi sejak zaman para Rasul. Dan itu menjadi tantangan
bagi kita semua
I Korintus
1:11
Sebab, saudara-saudaraku, aku telah diberitahukan oleh orang-orang dari
keluarga Kloe tentang kamu, bahwa ada PERSELISIHAN di antara kamu.
1:12
Yang aku maksudkan ialah, bahwa kamu masing-masing berkata: Aku dari golongan
Paulus. Atau aku dari golongan Apolos. Atau aku dari golongan Kefas. Atau aku
dari golongan Kristus.
1:13
Adakah Kristus terbagi-bagi? Adakah Paulus disalibkan karena kamu? Atau
adakah kamu dibaptis dalam nama Paulus?
Lalu apakah
Golongan-golongan / Aliran dalam Kristen itu Tidak Boleh, disini kita melihat
realitas jemaat mula-mula, dimana golongan-golongan diantara mereka pun muncul,
namun itu bukan menjadi Halangan Bagi kesatuan Umat di dalam Kristus. Tetapi
menjadi khasana Gereja itu sendiri di dalam Tubuh Kristus.
I Korintus
3:4
Karena jika yang seorang berkata: "Aku dari golongan Paulus," dan
yang lain berkata: "Aku dari golongan Apolos," bukankah hal itu
menunjukkan, bahwa kamu manusia duniawi yang bukan rohani?
3:5.
Jadi, apakah Apolos? Apakah Paulus? Pelayan-pelayan Tuhan yang olehnya kamu
menjadi percaya, masing-masing menurut jalan yang diberikan Tuhan kepadanya.
3:6
Aku menanam, Apolos menyiram, tetapi Allah yang memberi pertumbuhan.
3:7
Karena itu yang penting bukanlah yang menanam atau yang menyiram, melainkan
Allah yang memberi pertumbuhan.
3:8
Baik yang menanam maupun yang menyiram adalah sama; dan masing-masing akan
menerima upahnya sesuai dengan pekerjaannya sendiri.
3:9
Karena kami adalah kawan sekerja Allah; kamu adalah ladang Allah, bangunan
Allah.
Golongan-golongan
itu bukanlah memecah belah dan menjadi batu sandungan tetapi golongan2 itu
memiliki caranya tersendiri untuk mengenal Allah, layakanya dalam analogi Paulus berkata :
Paulus yang menanam dan Apolos yang menyirami.. mereka ada untuk membantu
mengenal Allah tetapi Allah lah sendiri yang membangun itu ...
dalam kalimat : "yang
penting bukanlah yang menanam atau yang menyiram, melainkan Allah yang memberi
pertumbuhan" dan "Pelayan-pelayan Tuhan yang olehnya kamu menjadi
percaya, masing-masing menurut jalan yang diberikan Tuhan kepadanya. "
Yang penting bukan Denominasi atau golongan2 itu tetapi Allah itu
sendiri, apabila dengan denominasi itu atau golongan atau hamba Tuhan itu kita
menjadi percaya akan Allah maka untuk Allah semata.
disini pula
disebutkan kalau dari Hamba Tuhan ini sehingga
kita percaya Allah, masing-masing menurut jalan
yang diberikan kepadaNya, menunjukan kalau di tiap golongan atau hamba Tuhan
ini ada ”JALAN” nya sendiri atau “CARA”
nya Sendiri.... Yang penting disini setiap golongan ada untuk kemuliaan Allah
sesuai jalan dan caranya masing-masing sesuai dengan Allah yang sudah beri
jalan pada setiap golongan itu. TANPA ADA “PERSELISIHAN” karena setiap golongan dipersatuan
oleh satu Kristus, satu penebusan dan satu baptisan.
Hal ini diperkuat
dalam 2 ayat dibawah ini, yang menunjukan Kesatuan Umat (Tubuh Kristus)
bukanlah kesatuan Lembaga Dunia tetapi Kesatuan di dalam Tuhan dan Roh yang
sama.
Roma
12:4
Sebab sama seperti pada satu tubuh kita
mempunyai banyak anggota, tetapi tidak semua anggota itu mempunyai tugas yang
sama,
12:5
demikian juga kita, walaupun banyak,
adalah satu tubuh di dalam Kristus; tetapi kita masing-masing adalah anggota
yang seorang terhadap yang lain.
Efesus 4:16
Dari
pada-Nyalah seluruh tubuh, rapih tersusun dan DIIKAT MENJADI SATU OLEH
PELAYANAN semua bagiannya, sesuai dengan kadar pekerjaan tiap-tiap
ANGGOTA--menerima pertumbuhannya dan membangun dirinya dalam kasih.
Tubuh Kristus
adalah Gereja itu sendiri,
dan dari banyak anggota tubuh dengan fungsi(CARA) nya masing-masing diikat
menjadi SATU oleh PELAYANAN... dan tiap-tiap anggota menerima pertumbuhanya
sendiri dalam KASIH.. tangan pasti ada caranya sendiri untu membuat tubuh Eksis
begitupun Mata dan seterusnya...
D. Keesaan Menuju Kedewasaan Iman
Orang Kristen dipanggil untuk
mendemonstrasikan perbuatan yang sesuai seperti difirmankan Tuhan sehingga
tercipta kesatuan asasi. Firman Tuhan dilandaskan menurut Efesus 4:1-16, di
mana bagian ini juga sering dipergunakan para ahli/tokoh Oikumene dalam
membahas mengenai Keesaan Gereja.
Keesaan
(=kesatuan) Gereja adalah pekerjaan Roh Kudus. Hanya pekerjaan Roh Kudus
sendiri yang memungkinkan kesatuan itu terwujud. Pengalaman dalam kesatuan ini
hanya memungkinkan di antara mereka yang telah diterangi dan didiami oleh Roh
Kudus (ay. 2-3, band. I Kor. 12:12-13). Pada dasarnya kesatuan yang dikerjakan
oleh Roh Kudus itu tidak terlihat, bersifat rohani. Tetapi hal itu kemudian akan
diungkapkan secara nyata, terlihat melalui persekutuan di antara orang percaya.
Dalam mencapai
keesaan di antara orang percaya, maka hal pertama harus dimiliki oleh orang
Kristen adalah kerendahan hati (ay. 2). Dengan, kerendahan hati akan mengantar seseorang
untuk lemah lembut dan sabar; selanjutnya dalam kasih akan membawa kerja sama
di antara orang percaya, karena kasih itu tidak mementingkan diri sendiri,
tetapi mau toleransi dengan yang lain (I Kor. 13:4-7).
Kesatuan di antara orang percaya/Gereja bukan
merupakan tujuan akhir, melainkan kesatuan itu mempunyai tujuan untuk
pengembangan pelayanan yaitu pembangunan tubuh Kristus. Jadi keesaan itu dapat
terwujud dalam kepelbagaian karunia (ay. 11-12). Kesatuan dalam iman dibutuhkan
untuk menuju kedewasaan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus. Dalam perwujudan
keesaan, Gereja perlu pengenalan yang lebih mendalam tentang Kristus, supaya
dapat bertumbuh bersama dan tetap diikat dalam suatu pelayanan yang dihangatkan
dalam kasih Kristus, yang memungkinkan pertumbuhan setiap anggota menuju
kedewasaan iman (Ef 4:13-16)
BAB III
SEJARAH PERKEMBANGAN GERAKAN OIKUMENE
A. Perkembangan
Gerakan Oikumene Dunia
Dalam wujud gereja dan kesatuan-kesatuan
organisasi gereja, ternyata sejarah mencatat ada begitu banyak kesatuan
organisasi gereja di dunia dan di Indonesia, sehingga sering membuat orang
bertanya: kenapa gereja tidak satu saja organisasinya?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita perlu
menelusuri jejak-jejak sejarah gereja sejak zaman dahulu sampai zaman sekarang
ini. Boleh dikatakan, bahwa gereja memang mengalami proses kehidupan yang tidak
selalu mulus. Ada banyak persoalan dan pergumulan yang susul-menyusul, sehingga
mencari bentuknya berdasarkan pokok-pokok ajarannya masing-masing, sehingga kemudian
muncul adanya denominasi
(aliran) gereja. Itulah yang kemudian diwariskan kepada kita yang hidup pada
masa kini.
Gereja mengalami pergumulan ajaran gereja sejak
tahun-tahun permulaan kehadiran gereja. Kita mengenal tokoh-tokoh seperti
Augustinus, Origenes, Tertullianus, Athanasius dll., dengan kemahirannya
masing-masing dalam menghayati ajaran gereja. Lalu tersusunlah Pengakuan Iman
Rasuli pada sekitar abad IV Masehi. Kemudian sampailah pada Skisma (Perpecahan)
Pertama pada tahun 1054 dan terbentuk gereja Yunani Katolik dan Roma Katolik
dengan kekhususannya masing-masing. Pada tanggal 31 Oktober 1517 Martin Luther
memulai Reformasinya dengan memasang 95 dalil di pintu gereja Wittenberg di
Jerman dan muncul aliran Protestan. Lalu pada tahun 1534 hadir gereja Anglican
yang tidak berangkat karena perbedaan ajaran, tetapi usaha Raja Henry VIII
dalam memikirkan suksesi bagi takhtanya.
Sesudah itu
bermunculanlah aliran-aliran gereja baru di kalangan kaum Protestan, sehingga
makin ramailah suasana kehidupan gereja Protestan dan orang lain menyebutnya
sebagai ‘penyakit Protestanisme’ yakni perpecahan demi perpecahan. Maka kita
mengenal aliran-aliran seperti Lutheran, Calvinis dengan Reformed dan
Re-reformed (Gereformeerd)-nya, Baptis, Methodis dengan perpecahan berikutnya
Bala Keselamatan, Pentakosta, Adven, Injili dll.
Sesudah hadir
begitu banyak gereja dengan namanya masing-masing, maka datanglah kerinduan
untuk bersekutu dalam wadah oikoumenis. Maka muncullah World Council of
Churches (Dewan Gereja Se-Dunia, DGD) pada tahun 1948 di Amsterdam, negeri
Belanda, sebagai wadah gereja-gereja yang bersatu. Dalam perkembangan
ternyata muncul pula International Council of Churches (Dewan Gereja
Internasional), yang tentu saja mengurangi makna kebersatuan semua gereja
Kristen di dunia ini. Tak juga boleh dilupakan munculnya World Alliance of
Refoormed Churches (WARC), Reformed Ecumenical Synod (REC), Lutheran World
Federation (LWF) yang mengharubirukan suasana oikoumenis yang mendunia menjadi
tersekat-sekat kembali. Dalam tingkat regional hal itu kita jumpai dalam wujud
Christian Conference of Asia (CCA) dan tentu juga ada ikatan-ikatan gereja di
benua-benua yang lain yang dibentuk karena alasan geografis.
B. Perkembangan
Gerakan Oikumene Di Indonesia
1. Usaha Kalangan Zending
Sebagaimana halnya kemandirian, juga gerakan
keesaan gereja banyak ditentukan oleh perkembangan oikumenis di kalangan
pekabaran Injil sedunia. Juga dalam gerakan ini peran pihak Zending cukup
menentukan, khususnya pada periode sebelum Perang Dunia II. Dalam hal itu
gerakan keesaan gereja di Indonesia ini pertama-tama harus ditempatkan pada
sejarah lahirnya gereja-gereja di Indonesia, yang sejak semula telah bertumbuh
berdiri sendiri-sendiri dan diasuh oleh masing-masing badan Zendingnya.
Selain jemaat yang lahir dari pekerjaan
misi Katolik pada zaman Portugis, yang kemudian sebagian besarnya menjadi
Gereja Protestan setelah diambil alih oleh pihak VOC Belanda, lahir pula jemaat
yang dihasilkan oleh pekerjaan berbagai badan Zending dari Barat yang bekerja secara
sendiri-sendiri dan di tempat yang terpisah–pisah, terutama pada abad ke-19.
Kebanyakan badan Zending tersebut tidak merupakan badan dari suatu lembaga
gereja tertentu sehingga tidak mewakili suatu bentuk gereja tertentu. Tetapi
faktor pembeda yang cukup penting adalah berdirinya gereja-gereja di Indonesia
sebagai gereja suku atau gereja daerah. Sebab itu gerakan keesaan gereja di
Indonesia tidak bersifat penggabungan kembali (reunion), melainkan dalam
kesejajaran dengan pergerakan nasional Indoensia berurusan dengan batas-batas
suku dan daerah.
2. Nederlandsch-Indische Zendingsbond (NIZB)
Secara konkret gerakan keesaan di Indonesia
dimulai dengan pembetukan suatu badan pertemuan para pekabar injil,
Nederlandsch-Indische Zendingsbond (NIZB), pada tahun 1881, atas prakarsa Ds.
A.J. Schuurman (1830-1881).
Makna oikumenis
NIZB terdapat dalam empat hal:
(1) Pelembagaan
Konferensi-konferensi zending secara berkala
(2) mengambil
alih penerbitan De Opwekker (terbit 1855-1941), yang menjadi media pertukaran
informasi dan pemikiran serta memuat laporan konferensi-konferensi NIZB
(3) karya komisi
bacaannya
(4) pelayanan
komisi pemudanya.
NIZB adalah suatu
wadah bagi para pekabar Injil Barat
yang bekerja di Indonesia; baru kemudian hari terdapat beberapa anggota orang
Indoensia. Organisasi ini memberi peluang bagi para pekabar Injil Barat
(merekalah yang berperan sertal dalam kehidupan dan perkembangan gereja di
Indonesia) untuk mengembangkan kebersamaan menjalankan panggilannya di Indonesia.
Berdasarkan pengalamannya, seorang pendeta zending menunjuk adanya pertemuan
antara kalangan “Protestan” (Hervormd) dengan “Gereformeerden” dalam NIZB, yang
bisa menghasilkan saling pengertian:
Pertemuan
ini, percakapan-percakapan, kontak yang lebih mendalam antara orang-orang
dari berbagai denominasi atau (dengan terus terang) antara “Protestanten” dan
“Gereformeerden”, nyatalah sangat penting. Khususnya yang terakhir, saya secara
pribadi sangat terdorong: baiklah kita bertemu dan saling mendengarkan secara
tenang dan mendasar untuk saling mengerti dalam hal yang terdalam dan terbaik
dalam kehidupan kita. Bukan apa yang memisahkan kita, melainkan apa yang pada
dasarnya menjadikan kita satu, adalah yang paling penting dan dari situ kita
sama membangun. Jika tidak secara sadar dan dengan usaha yang
bersungguh-sungguh terus bekerja ke arah itu, saya yakin benar bahwa karya
penginjilan Protestan di negeri-negeri ini akan mengalami banyak kerugian
rohani.
B.J. Boland, yang
banyak berkecimpung dalam pembentukan wadah oikumenis di Indonesia,
menyinpulkan dua sifat pengaruh NIZB terhadap kerja sama oikumenis di
Indonesia, yaitu secara negatif, suatu pencegahan menguatnya pertentangan
antara denominasi yang dibawa dari negeri Belanda, dan secara positif, pembentukan
beberapa kemungkinan yang kemudian akan jelas bermakna bagi munculnya suatu
kerjasama oikumenis di Indonesia.
Wadah oikumenis
lainnya, yang penting bagi perkembangan gerakan keesaan gereja di indonesia,
adalahZendingsconsulaat (ZC) yang dilembagakan sejak tahun 1906,
dengan fungsi menjadi penghubung kalangan Zending dengan pemerintah. Secara
resmi perwakilan Zending diangkat oleh NBG.
Wadah ketiga
adalah Samenwerkende Zendingscorporaties (SZC) yang didirikan
pada tahun 1908 (di bidang pendidikan sudah sejak 1905) di egeri Belanda di
mana bergabung badan-badan Zending NAG, UZV, STC, dan
kemudian juga NZV (1923) dan JC (1931).
Dan pada tahun
1929 dibetuk Nederlandsche Zendingsraad (NZR), juga di Negeri
Belanda, sesuai tuntutan kebutuhan pekerjaan pekabaran Injil di
Indonesia.
Konferensi NIZB
pada tanggal 21 September 1928 di Bandung, yang membicarakan Konferensi
Pekabaran Injil Sedunia di Yerusalem, memutuskan membentuk sebuah panitia untuk
mempersiapkan pembentukan Nederlands-Indische Zendingsraad (NIZR, Dewan
Pekabaran Injil Hindia Belanda), dengan anggota-anggota Dr. H.A. van Andel, Ds.
W.F. Breyer, Prof.Mr.J.M.J. Scheper, Dr.B.M. Schuurman dan sebagai
sekretarisnya, Dr. N.A.C. Slotemaker de Bruïne. Setelah berapat pada tahun 1929
dan 1930, panitia melaporkan pada konferensi yubileum NIZB bulan September
tahun 1931, bahwa pembentukan NIZR belum dapat diwujudkan. Dengan itu suatu
dewan Kristen nasional (National Christian Council), sesuai
kecenderungan kalangan IMC, belum dapat diwujudkan di Indonesia. Kendala utama
berkaitan denganmasalah di Negeri Belanda, di mana pihak Gereformeerd menolak
menjadi anggota NZR karena keanggotaan NZR pada IMC. Kemudian konferensi
menyarankan pembentukan dewan-dewan lokal dengan tetap mengarah pada suatu
dewan nasional:
Rapat
menyatakan keinginan, bahwa dibentuk sebanyak mungkin dewan-dewan pekabaran
Injil setempat. Prakarsa untuk itu dilakukan sendiri di masing-masing
daerah.
Rapat memohon kepada pengurus NIZB untuk
membentuk suatu komisi yang
a) akan mempelajari masalah-masalah aktual
tertentu,
b)
mempelajari dengan cara bagaimana kesatuan di kalangan pekerja-pekerja Zending
di Hindia Belanda dapat ditingkatkan, juga supaya akhirnya dapat didirikan
suatu Dewan Pekabaran Injil Hindia Belanda. Juga akan dipelajari, apakah dan
sejauh mana Dewan Pekabaran Injil Sedunia dapat dipengaruhi sehingga keberatan,
yang ada dari beberapa pihak terhadap dewan ini, dapat dijauhkan.
Di Makassar
terbentuk suatu Locale Zendingsraad
(LZR), yang melakukan pertemuan-pertemmuan berkala sampai tahun 1942.
Di Jawa terdapat
dua LZR, masing-masing untuk pekerja Zending Eropa (Javaansche Zendingsraad)
dan untuk orang Kristen Jawa (Javaanse Christenraad). Tokoh di
balik kedua Dewan Jawa ini adalah Dr. B.M. Schuurman, yang mendorong
hubungan-hubungan antar orang Kristen pribumi demi terciptanya suatu ontak
oikumenis di antara orang Kristen Indonesia. Salah satu hasilnya adalah
besarnya rasa tanggungjawab terhadap sesama orang Kristen dari gereja lain pada
masa perang.
Di Sumatera,
pembentukan suatu dewan pekabaran Injil lokal juga dibicarakan, tetapi tidak
sempat terbentuk. Laporan-laporan pada tahun 1930-an mengenai dewan-dewan yang
terbentuk tidak memperlihatkan perkembangan.
Seperti yang
sudah diuraikan dalam bab lalu, pelayanan kepada para pemuda dalam Komisi
Pemuda NIZB turut berperan pentingmemunculkan suatu kenyataan baru dalam
sejarah kekristenan di Indonesia. Bersama dengan kenyataan-kenyataan lain yang
sezaman, seperti penyiapan tenaga-tenaga Indonesia, kemandirian gereja-gereja
dan pendidikan teologi (HTS), Boland menyebutnya een nieuwe stuk
geschiedenis (suatu bagian baru sejarah) atau nieuwa
geschiedenis (sejarah baru), yakni peralihan dari aspek Belanda ke
aspek Indonesia dalam sejarah kekristenan di Indonesia:
Kita
memakai “sejarah baru” di sini dalam arti yang lain, yaitu perkembangan
hal-hal di mana akar-akarnya tidak kembali pada “segi Belanda”, melainkan pada
“segi Indonesia”.
Selanjutnya,
dengan nada bersemangat Boland mencatat perkembangan-perkembangan yang menandai
sejarah baru itu:
Gerakan
pemuda Kristen timbul. Para pemimpin dibina, bagi pelayanan pemuda Kristen,
tetapi mereka juga tampil dalam bidang lain. Prakarsa Indonesia sendiri
bertumbuh. Oikumene masuk ke dalam cakrawala sebagian dari kekristenan
Indonesia. Pemimpin-pemimpin teologis dan gerejawi dididik. Gereja-gereja muda
mulai berdiri sendiri. Singkatnya: permulaan dari suatu perubahan mendasar
wajah dunia gerejawi Indonesia!
3. Dari Zending ke Gereja
Tahun-tahun
1930-an merupakan pula dasa warsa pertama kemandirian gereja-gereja di
Indonesia. Hubungan antara proses kemandirian dan gerakan oikumene digambarkan
oleh Boland dengan kata-kata kunci: mogelijkheden en voorwaarden (kemungkinan
dan persyaratan) dan noodzakelijkheid (keharusan).
Pandangannya demikian: Gerakan oikumene adalah soal gereja-gereja. Garis
peralihan dari “aspek Belanda” kepemimpinan Zending ke oikumenisitas Indonesia
dari kelompok-kelompok Kristen Indonesia tidak dapat ditempuh jika tahap
kemandirian gereja-gereja tidak terwujud. Permulaan baru dari “aspek Indonesia”
pada satu pihak menjadikan kemandirian gereja-gereja suatu keharusan, dan pada
lain pihak justru kemandirian itu suatu kesempatan untuk berkembang, lepas dari
perbedaan-perbedaan denominasi di Negeri Belanda. Tetapi juga keharusan gerakan
oikumene dibentuk oleh kemandirian ini. Keterarahan kepada masing-masing
kenyataan pada akhirnya membentuk titik temu utuk saling membantu dan kerjasama.
Boland menyimpulkan:
Jadi
kesimpulan kita demikian, bahwa dalam perkembanganmenuju kerjasama oikumenis di
Indonesia menurut segi Indonesianya kemandirian gereja-gereja menduduki tempat
penting. Ini dapat dianggap sebagai suatu syarat yang harus terpenuhi supaya
ooikumenisitas ini dapat tercapai. Dan perkembangan ini mengandung janji-janji besar,
asalkan orang sanggup melihat setelah perwujudan kemandirian ini
masalah-masalah dengan bijaksana dan, sesuai dengan itu, bertolak dari
suatu sikap kritis ke dalam, bekerja keras untuk percakapan
oikumenis yang perlu dari gereja-gereja dan untu peresapan pemikiran
oikumenis ke dalam Jemaat.
Walaupun Boland
agak mengidealisir perkembanganya, perutusan ke Konferensi Pekabaran Injil
Sedunia memperlihatkan pertumbuhan kepemimpinan Kristen Indonesia. Konferensi
Dewan Pekabaran Injil Sedunia memperlihatkan pertumbuhan kepemimpinan Kriseten
Indonesia. Konferensi Dewan Pekabaran Injil Sedunia tahun 1928 di Yerusalem
hanya dihadiri seorang Kristen Indonesia, T.S.G. Moelia. Tetapi pada konferensi
berikutnya, tahun 1938 di Tamburam, sudah tercatat lebih banyak orang Kristen
Indonesia,yakni:
Dr.J. Leimena,
Mr. Soetjipta, Mr. .L. Fransz, R.M. Luntungan, Pouw Boen Giok, Ds. Mas Mardjo
Sir, Ds.B. Moendoeng, Ny. Moendoeng, P. Sitompoel, Ds. W.H. Tuatuarima dan dr.
Wardojo.
Kenyataan ini
menandai meningkatnya keterlibatan orang Indonesia dalam kepemimpinan gereja,
yang berkaitan dengan proses kemandirian gereja-gereja di Indonesia.
Konferensi Dewan
Pekabaran Injil Sedunia di Tambaram terutama terkenal karena memperhadapkan
pewartaan Krisen yang eksklusif kepada agama-agama bukan Kristen. Bahan
persiapan dipercayakan kepada Hendrik Kraemer, yang menulis bukunya yang
masyhur The Christian Message in a Non-Christian World.
Tetapi selain
tekanan yang Injili itu, Konferensi Tambaran juga memberi perhatian yang besar
pada gereja-gerja muda. Dan dalam kaitan itu kemandirian gerja, dari segi yang
kini disebut kemandirian dana dan daya, mendapat perhatian besar.
Para utusan dari
Indonesia pada konferensi itu disentak oleh kenyataan bahwa gereja-gereja di
Indonesia terbelakang dibanding dengan perkembangan di tempat-tempat lain,
khususnya di Jepang, India dan Cina. Sebab itu pada tanggal 12 Januari 1939,
tepat pada hari ketibaan kembali jumlah terbesar mereka dari Tambaram, sepuluh
orang menggabungkan diri ke dalam suatu pertemuan di ruangan konsistori
Willemskerk di Batavia.
Pertemuan itu
dilangsungkan oleh pengurus Gerej Protestan, klasis Jawa Barat Gereja-gereja
Protestan Cina, dan Majelis Agung Gereja Jawa Timur, untuk membicarakan
keinginan dan kemungkinan membentuk suatu Dewan Gereja-gereja dan Zending di
Indonesia. Pertemuan secarabulat menyetujui pembentukan dewan itu, lalu
menunjuk suatu panitia kerja (werkcommissie) untuk menyusun anggaran
dasarnya (statuten). Konsep-konsep ini akan dibicarakan pada bulan
Oktober 1939, sebab dharapkanpada waktu itu sejumlah utusan akan datang
menghadiri Sinode Am ke-2 Gereja Protestan. Pertemuan yang dimaksud berlangsung
pada tanggal 2 Oktober 1939 danjuga secara bulat menyetujui pembentukan dewan
itu. Untuk itu, dan kali ini secara resmi oleh wakil-wakil lembaga-lembaga yang
terlibat, dibentuk panitia baru, yang sekaligus bertindak sebagai moderamen dewan
itu, yaitu Dr. T.S.G. Moelia (Ketua), Dr.E. de Vries (Wakil Ketua) dan Mr. S.C.
Graaf van Randwijxk (Sekretaris).
Dari rancangan
Anggaran Dasarnya jelas
bahwa dewan ini (namanya di-Melayu-kan dengan Madjelis Geredja-gereja dan Zending di-Hindia Belanda) akan
beranggotakan “kelompok-kelompok Geredja dan
kerapatan-kerapatan Zending jang
bekerdja di-Hindia Belanda” dengan tujuan:
1.
memajukan
persekutuan dan usaha bersama jang erat dari pada badan-badan jang bergabung, dengan menghormati
se-penuhnya akan kebebasan
dan berdirinja sendiri tiap-tiap badan itu.
2.
mempelajadjari
soal-soal, jang penting utuk penjiaran Indjil
danmemperteguhkan hidup Geredja seumumnja dan di Hindia Belanda khususnja.
3.
mengerdjakan
matjam pekerdjaan untuk penjiaran Indjil dan keteguhan hidup Geredja di-Hindi
Belanda, jang seturut sifatnja lebih baik diusahakan bersama daripada tiap-tiap anggota mengerdjakannja sendiri.
4.
mewakilkan
Geredja-gereja dan kerapatan-kerapatan Zending disini dalam
organisasi-organisasi internasional
Geredja dan Zending.
Diharapkan bahwa
jika Anggaran Dasar disetujui, maka Dewan dinyatakan berdiri dengan pimpinan
sementara di tangan panitianya. Dewan itu tidak sempat diwujudkan, “karena
bermacam-macam salah pengertian” dan pendudukan Jepang menghentikan rencana
itu.
Pendudukan Jepang
(1942-1945) memaksakan suatu kemandirian gereja-gereja di semua bidang, karena
para pekabar Injil Eropa ditahan dan hubungan dengan badan-badan Zending
diputuskan. Atas prakarsa pemerintah Jepang juga dicapai “kebersamaan paksa”
semua golongan Kristen di beberapa tempat.
Sebab itu ada
pemahaman yang menerima pendudukan Jepang sebagai blessing in disguise bagi
gereja-gereja di Indonesia.
Boland
menyimpulkan lima pengaruh dari kenyataan pada masa peperangan itu terhadap
kerjasama oikumenis di Indonesia:
1.
sebagai
“rengkahan kedua” (tweese breuk)
dalam sejarah yang menandai perubahan radikal gereja di Indonesia,
2.
menjadi
tombol pemindah isi (een omschakeling)dari pandangan-pandangan missiocentrischke ecclesiocentrisch,
3.
memungkinkan
kenyataan dan mendesakkan perluya suatu oikumenisitas gereja-gereja di
Indonesia,
4.
memunculkan
wawasan oikumenis sedunia, khususnya di Asia Tenggara, tanpa diperhubungkan
oleh “pihak Belanda” dan
5.
supremasi
Zending Barat diubah menjadi suatu hubungan kerjasama oikumenis antar
gereja-gereja saudara.
4. Nota de niet: Balai Kristen
Pada
kenyataannya, peperangan tidak menghentikan gerakan keesaan gereja. Justru di
dalam camp-camp tahanan Jepang tersedia kesempatan bagi para zendeling untuk memikirkan
masalah-masalah gereja di Indonesia, juga tentang gerakan keesaan itu.
Pada bulan
Oktober 1945 dibentuk Contact-Comité voor Kerk en Zending oleh
Gereja Protestan, Zendingconsulaat dan Gereformeerde Kerken. Tujuannya adalah
membentuk suatu lembaga yang dengannya gereja-gereja di Indonesia dapat
berbicara dengan satu suara (misalnya kepada pemerintah atau kepada
gereja-gereja melalui suatu seruan). Komite ini berkaitan dengan suatu biro
bagi bantuan dan pemulihan (Bureau voor Relief en Reconstructie), yang antara
lain menangani urusan lectuur, pembagian bahan-bahan bangunan dsb.
Kemudian komite membentuk komisi-komisi darurat
(Noodcomité) untuk pedidikan Kristen, pelayanan medis dan Lectuurcommissie.
Dalam kalangan ini ada harapan untuk memulihkan impian sebelum perang, yakni
mewujudkan kerjasama oikumenis dalam bentuk suatu Dewan Gereja dan
Zending:
bahwa meskipun demikian kebersamaan dalam
Komite ini akan berguna untuk penyiapan yang lebih baik bagi suatu pemulihan
yang cepat dalam bentuk baru “Dewan Gereja dan Zending” yang hampir berdiri tak
lama sebelum pendudukan Jepang.
Dalam kerangka
itu Konsul Zending, Mr. M. de Niet, setelah melakukan perkunjungan ke Indonesia
bagian Timur, menggagas suatu susunan sistematis Balai Kristen di Indonesië
dalam suatu nota (kemudian dikenal sebagai Nota de Niet atau Balai-Plan) pada
tanggal 30 Desember 1945, yang berjudul “Oecumenisch Samenwerking en Eenheid in
Indonesië” (=Kerjasama Oikumenis dan Keesaan di Indonesia).
Pada rapatnya
tanggal 4 Juli 1946 NZR di Belanda menyetujui rencana itu “dalam arti umum”. Di
Indonesia, rapat Kerkbestuur Gereja Protestan pada tanggal 16 Juli 1946
menyetujuinya “secara garis besar”, demikian juga klasis Batavia Gereja-gereja
Gereformeerd pada tanggal 8 Agustus 1946.
Balai-plan De
Niet bertolak dari suatu kerangka mengenai tempat Gereja dan Zending di dalam
tatanan dunia pasca perang. Dalam kerangka itu tatanan gereja dan Zending di
Indonesia memerlukan pembentukan suatu pusat oikumenis yang kuat di mana
berlangsung pertemuan, stimulasi, inspirasi, penelitian, perkenalan dan
pengalaman. Kebersaman yang dianjurkan De Niet semata-mata untuk mengungkapkan
kesatuan di dalma Kristus. Suatu “Gereja Kristen di Indonesia yang besar (een
groote “Geredja Kristen di Indonesia”) dianggap De Niet prematur, tidak tepat
dan tidak bertanggung jawab pada saat itu, mengingat kesadaran gereja yang
sejati masih terlalu sedikit di kalangan jemaat. Selain itu, Gereja dibangun
oleh Tuhannya sendiri:
Sebuah “Gereja Kristen di Indonesia” yang
sejati tidak bisa dibentuk dalam semalam oleh sejumlah orang atau oleh beberapa
lembaga manusiawi atau dibentuk dengan suara bulat atau suara mayoritas. Dia
harus bertumbuh oleh kasih karunia Allah, dan akan bertumbuh demikian, walaupun
barangkali ada banyak usaha dan perjuangan secara sungguh-sungguh oleh orang
–orang Kristen yang kurang lebih berpandangan oikumenis dan para pemimpin
Gereja dan Zending.
Menurut De Niet,
yang sudah dapat dibentuk adalah sebuah Dewan Kristen Nasonal yang hidup dan
kokoh, bernama “Balai Kristen di Indonesia”.
Dalam Balai ini
diharapkan akan terhimpun semua gereja Protestan di Indonesia (sebagai anggota
biasa” bersama-sama dengan gereja-gereja pengutus di Belanda (NHK, GKN
dsb) serta wakil-wakil perserikatan-perserikatan dan perhimpunan-perhimpunan
pelayanan Kristen di Indonesia, seperti Dewan Sekolah (Schoolraad),CSV,
CJVF, NBG, Yayasan Sekolah Theologia dan semua kelompok “kegiatan Kristen”
(sebagai anggota luar biasa). Pengurus terdiri atas para wakil anggota yang
berapat setahun sekali dan pengurus harian yang berkedudukan di Batavia.
Konferensi tiga tahunan dapat diselenggarakan bergiliran di wilayah-wilayah
Indonesia di mana ada “provincial council”.
Bagian terpenting
dalam Balai ini adalah stafnya, yang akan terdiri atas enam orang sekretaris,
masing-masing:
a) seorang teolog
yang ahli di bidang dogmatika, pengakuan serta tata gereja dan pendidikan teologi,
b) seorang teolog
ahli penginjilan di Indonesia yang harus ahli agama Islam, untuk bidang pekabaran Injil,
c) seorang
pendidik, yang ahli dalam metode pendidikan dan teologi, untuk urusan
pendidikan Kristen,
d) seorang yang
ahli masalah-masalah di bidang etnologi, sosiologi dan ekonomi,untuk urusan “social environment”,
e) seorang
sekretaris untuk bidang pergerakan pemuda Kristen, dan
f) seorang
sekretaris umum yang memadukan sebisanya semua urusan kantor dan berbagai hubungan oikumenis.
Dan mengingat
masih langkanya tenaga Indonesia yang memenuhi syarat-syarat itu maka akan
terjadi campuran dengan orang Belanda dan Timur Asing.
Kedudukan Balai
itu harus di Batavia, tetapi bukan di pusat kota (supaya jauh dari keramaian),
dan akan merupakan suatu kompleks dengan bangunan-bangunan untuk berbagai
fasilitas, seperti perpustakaan umum, ruangan baca, ruangan kursu s dan
konferensi, ruangan pertunjukan film dan slide, kantor dan pusat-pusat berbagai
kegiatan lainnya. Bangunan sederhana dan berciri Indonesia dengan hiasan-hiasan
dari berbagai hasil kebudayaan Indonesia.
De Niet mencatat
pula penghapusan Zendingconsulaat, dan sebagai gantinya adanya seorangZendingsdirector di
Indonesia dengan fungsi utama di bidang administrasi keuangan (karena itu
haruslah seorang accountant).
Sebagai
perwujudan kerjasama, De Niet mengusulkan pembentukan pelayanan medis Kristen,
pendidikan dan literatur.
5. Konferensi Batavia (1946)
Atas prakarsa
Zendingconsulaat dilangsungkan pada tanggal 10-20 Agustus 1946 di Batavia suatu
konferensi parapekabar Injil. Tujuanya adalah mengantisipasi tugas-tugas pihak
Zending dalam masa baru Indonesia:
Refleksi atas tempat dan tugas Zending di
dalam Indonesia yang baru, secara prinsipil dan secara praktis; untuk
meningkatkan kesatuan visi dan kebijakan di segala pekerjaan zending di negeri
ini; untuk menasihatkan gereja-gereja pengutus di Negeri Belanda, khususnya
Dewan Zending Belanda, untuk menentukan kebijakan di Home Base; untuk
mempersiapkan percakapan-percakapan lebih lanjut dengan badan-badan oikumenis,
khususnya di Amerika, mengenai bantuan dan pemulihan, demikian juga mengenai
kemungkinan pertolongan untuk sesuatu perencanaan baru pada masa depanjika
sekiranya gereja-gereja di Indonesia memutuskan suatu perencanaan baru dan
menginginkan bantuan seperti itu.
Konferensi
Batavia ini membicarakan tiga pokok utama: tempat gereja dalam masyarakat,
pembangungan gereja, dan pelayanan gereja di Indonesia. Untuk pokok pertama,
ceramah-ceramah pengantar disampaikan oelh Dr. C.L. van Doorn (“De Kerk inhet
midden”), yang membicarakan fungsi-fungsi kenabian, keimanan dan kerajaan
gereja, dan oleh Ds. J.C. Hoekendijk (“Vrijheid van godsdienst”) serta masukan
dari Contact-Comité beruap nota “De Vrijheid van Godsdienst in het toekomstige
Indonesië”. Dalam pokok ini konferensi memberi tekanan pada demokrasi dan
mendukung usaha-usaha mewujudkan kebebasan beragama.
Mengenai
pelayanan gereja (Kerkwerk) di Indonesia, Ds. J.C. Hoekendijk
memperkenalkan comprehensive approach sebagai visi yang lebih
luas dalam pelayanan gereja, berdasarkan perkembangan pemahaman dalam gerakan
oikemene sedunia, khususnya IMC.
Percakapan
mengenai bidang pembangunan gereja (Kerkopbouw) meliputi pokok-pokok
kebersamaan oikumenis, pendidikan teologi, pelayanan pemuda dan keluarga, serta
pengadaan bacaan. Selain kebersamaan oikumenis, perhatian yang besar diberikan
pada masalah pendidikna teologi sebagai “salah satu yang paling utama dan
terpenting dari tugas-tugas Gereja-gereja dan Zending”.
Kebersamaan
oikumenis dibicarakan berdasaarkan :Nota De Niet” (atau “Balai-plan”) dan
“Richtlijnen voor het kerkelijk gesprek” (=Pedoman bagi percakapan gerejawi). Dalam
pedoman yang disebut terakhir ini Bergema menunjuuk dua macam perbedaan antara
gereja-gereja: yang berhubungan dengan pengakuan dan yang berhubungan dengan
pengaturan gereja (kerkinrichting), yang masing-masing dapat dibedakan
lagi atas perbedaan-perbedaan “historis” (kebangsaan, suku, bahasa, dst) dan
“teologis” (perumusan pengakuan dan tata gereja). Bergema membedakan pula
antara perbedaan-perbedaan yang dasariah dan yang tidak dasariah. Diharapkan
dengan itu dapat dilihat kemungkinan-kemungkinan kebersamaan gereja-gereja
dalam berbagai tingkatannya:
Skala kemungkinan mulai dari pengakuan yang
bertingkat persaudaraan dan kerjasama praktis seperistiwa sampai kesatuan
gerejawi sempurna melalui penerimaan anggota-anggota baptisan masing-masing,
surat menyurat dengan pertukaran laporan-laporan, majalah-majalah, dsb,
konferensi-konferensi bersama malam-malam puji-pujian, malam-malam doa,
penerbitan majalah jemaat bersama, perutusan tetap antar gereja, kesatuan
federatif (dalam semangat Free Church Counsil, Federal Council of Churches of
Christ di Amerika atau Dewan Gereja-Gereja Belanda kita), pengakuan
anggota-anggota sidi masing-masing, pertukaran pendeta-pendeta, ibadah-ibadah
bersama, kesatuan pendidikan, perjamuan kudus bersamadan peleburan.
Laporan
konferensi, yang dirumuskan pada tanggal 20 Agustus 1946, mempertahankan
cita-cita lama untuk membentuk Dewan Gereja-gereja dan Zending (Raad van
Kerken en Zending) tetapi dengan tujuan yang baru: membentuk satu gereja di
Indonesia. Kedua butir pertama laporan konferensi tentang hal ini
berbunyi:
Kebersamaan Oikumenis gereja-gereja di
Indoensia sebagaimana ini terungkap dalam pembentukan suatu Dewan Gereja-gereja
dan Zending di Indonesia pada tahun 1939-1941 perlu dimajukan dan diperkuat.
Pewujudan, berdasarkan motif-motif rohani, satu gereja di Indonesia pada masa
depan yang jauh atau dekat hendak menjadi tujuan kebersamaan oikumenis itu.
Tugas Dewan
Gereja-gereja dan Zending ini meliputi:
1.
memprakarsai
percakapan gerejawi mengenai soal-soal dogmatika (pengakuan), hukum gereja dan
liturgi.
2.
memajukan
pendidikan theologia.
3.
pekabaran
Injil.
4.
memajukan
pendidikan Kristen.
5.
pelayanan
kesehatan
6.
mempelajari
masalah-masalah yang bersifat ekonomis dan sosial.
7.
publisitas
(pers dan radio).
8.
pelayanan
pemuda.
Dalam Butir-butir
lainnya diusulkan pembentukan dewan-dewan wilayah (khususnya di Indonesia
bagian Timur dan Kalimantan), selama dewan secara nasional belum dapat
diwujudkan.
Jadi, makna penting
konferensi Batavia ini bagi
gerakan oikumene di Indonesia adalah memelopori kelanjutan kerjasama oikumenis
dalam penggilan gereja dalam konteks yang baru (Indonesia merdeka) dengan
pendekatan comprehensive. Dan dengan mencanangkan pembentukan satu gereja
di indoensia. Di samping itu, penting pula bahwa pada konferensi ini timbul
semangat keesaan yang” merasuk para pesertanya, khususnya para pendeta
Indonesia dari wilayah Indonesia bagian Timur.
6. Kalangan Gereja-gereja
a) Gereja-gereja
di Indonesia bagian Timur
Sesudah pada konferensi Batavia itu para
pesertz dari Indonesia bagian Timur, dipelopori Dw. W.J. Rumambi dari GMIM, Ds.
E. Durkstra dari Timor dan Ds. F.H. de Fretes dari GPM, merencanakan suatu
pertemuan wilayah. Ds. Rumambi, yang kemudian dipillih sebagai sekretaris
panitia persiapan, menyampaikan “rentjana oesaha sekretaris panitia persiapan,
menyampaikan “rentjana oesaha persiapan conferentie Makasar” dengan tujuan:
menyatakan keesaan gereja-gereja dan bakal gereja-gereja dan membentuk majelis
atau majelis-majelis gereja dan bakal-bekal gereja di Indonesia bagian Timur,
selaku cabang atau cabang-cabang dari Balai Gereja Kristen di Indonesia.
Panitia dibentuk
dengan Ds. Rumambi dan Dr. H. Bergema (yang juga sejak lama membentuk usaha-usaha
menuju keesaan Gereja, khususnya melalui kesatuan pendidikan teologi) sebagai
tulang punggungnya. Keduanya sama terpikat pada gagasan oikumenisnya dan dapat
bekerjasama dengan baik.
Pandangan
oikumenis Dr. Rumambi sebelumya, yang bertumbuh melalui pengalamannya bekerja
dalam lembaga kesatuan Kristen paksaan Jepang, nyata dari pandangannya mengenai
keesaan sebagai ketaatan kepada kehendak kehendak Tuhan dan sebagai prasyarat
bagipanggilan memulihkan dunia pasca perang:
Alasan segala oesaha kita di masa ini akan
mewoejoedkan keessaan Keristen ialah kehendak Allah, bilamana kita tidak
berbuat demikian, kita telah berdosa di hadapan Toehan Allah. Boekankah hal ini
[kenyataan buruk dunia pasca PD II] soeatoe panggilan Toehan bagi kita,
oematNja, diseloeroeh moeka boemi, akan mengatoer poela, membawa siasat jang
benar, dalam segala lapangan hidoep. Bagaimanakah kita dapat berboeat demikian
kalaoe roemah tangga kita sendiri, ja’ni Geredja Keristen, Persekoetoean
Keristen, beloem teratoer, artinja beloem ada keesaan, persatoean roh Keristen
dalam segala oeroesannja?
Seperti
dikemukakan De Niet, bahwa tujuan keesaan bukanlah membentuk suatu kekuatan
politik, Ds. Rumambi juga kritis terhadap arah yang keliru seperti itu:
Boekan maksoed kita akan mengadakan soatoe
partai ataoe persatoean setjara doenia jang semata-mata hendak mereboet kuasa
doeniawi sadja, boekan poela maksoed “gerakan keesaan” ini hendak mendirikan
satoe Geredja jang maha koeasa, selakoe toedjoean achir, sehingga boekan nama
Toehan dipermoeliakan melainkan nama pimpinan-pimpinan Geredja, sekali boekan
demikian.
Konferensi yang
diopersiapkan dengan apik itu berlangsung sebagai “Konferensi Gereja-gereja dan
Zending”, pada atanggal 15-25 Maret 1947 di Malino (dekat Makassar), Sulawesi
Selatan. Para peserta terutus dari berbagai lembaga gereja dan zending di
Indonesia bagian Timur dan sejumlah undangan. Pokok-pokok keputusan Konferensi
Malino ini meliputi:
1) pembentukan Madjelis Oesaha bersama
Geredja-Geredja Keristen, jang berpoesat di Makassar(dipendekan Madjelis Keristen)
pada tanggal 17 Maret 1947,
2) penetapan
pendirian Sekolah Pendeta di Makassar,
3) persetujuan
pada arah nasionalis penyelenggaraan pendidikan,
4) tugas
pekabaran Injil,
5) kewajiban
pekerjaan sosial,
6) menyetujui usul mendirikan Badan Poesat
Penerangan dan Pekabaran Kristen di Makassar dalam kerjasama dengan Lembaga
Alkitab,
7) pelayanan
pemuda dan
8) sikap bersama
terhadap soal-soal bangsa dan negara.
Selain itu,
Konferensi juga menetapkan suatu Konsep Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah
Tangga bagi suatu wadah ouikumenis nasional, yang diharapkan terbentuk segera.
Pembentukan
Madjelis Keristen memastikan untuk sementara waktu usaha oikumensi di Sulawesi
Utara (dan Tengah), yang didorong oleh kebersamaan yang dipaksakan pada zaman
Jepang.
Pada akhir tahun
1945 direncanakan bahwa gereja-gereja dan zending di wilayah itu akan bekerja
bersama-sama menyelenggarakan pendidikan pendeta, penerbitan majalah,
pendidikan umum dan akhirnya mewujudkan satu gereja di Sulawesi Utara (dan
Tengah). Baru kemudian, ketika Madjelis Keristen mlemah, kebersamaan itu
diwadahkan dalam Dewan Daerah DGI di Sulawesi Utara pada konferensi
gereja-gereja GKST, GMIM, GMIBM dan GMIST
tangal 23 dan 26 Juni 1951, yang diresmikan pada tanggal 17 September 1951 di
Kotamobagu.
Konsep Anggaran
Dasar dan konsep Peraturan Rumah Tangga bagi “Madjelis Oesaha Bersama
Geredja-Geredja Keristen di Indonesia” bermakna penting, karena dengan
itu Konferensi Malino jelas mengacu pada wawasan nasional gerakan oikumene dan
mempertegas arah gerakan itu sebagai gerakan gereja-gereja di Indonesia menuju
“pembentoekan satoe Gereja Keristen di Indonesia”.
Lagi pula
Madjelis Keristen yang dibentuk Konferensi ini merupakan wadah oikumensi yang
sempat menghidupkan secara nyata kbersamaan gereja-gereja di Indonesia,
khususnya dalam kegiatannya sebagai pelaksana dalam skala kecil apa yang
nantinya akan dilaksanakan oleh Dewan Gereja-gereja di Indonesia dalam skala
besar. Dengan kata lain, Konferensi Malino memberi bentuk nyata dan merintis
arah gerakan oikumene di Indoensia. Madjelis Kristen memang memahami dirinya
sebagai cabang suatu wadah nasional yang kelak dibentuk.
Aspek Indonesia
Madjelis Keristen cukup menonjol. Kelima orang pengurus inti badan pekerjanya
semuanya orang Indonesia, yakni Ds.S. Marantika (Ketua), Ds.W.J. Rumambi
(Penulis merangkap Bendahara), Ds.D. Ngefak, Pdt.S. Bombongdan Mr.G.P.Khouw
(anggota-anggota). Juga aspek itu nayata dalam pekerjaannya sesuai tujuan
pembentukannya, yang dapat disimpulkan dalam kata-katamengikat,
mengkoordinir dan mewakili gereja-gereja. Dalam
hubungan itu Madjelis Keristen telah menyumbangkan pengalamannnya bagi gerakan
oikumene di Indonesia dalam mewadahi hidup bersama, bekerja bersama dan
bersaksi bersama sebagai gereja.
b) Gereja-gereja di Jawa
Gereja-gereja
Protestan di Pulau Jawa menyelenggarakan xuatu konferensi pada tanggal 21-22
Mei 1946 di Yogyakarta. Gereja-gereja yang mengutus wakilnya adalah: Gereja
Kristen Jawa Timur (Ds. Mardjo Sir dan Ds. Moedjodihardjo), Gereja Kristen Jawa
Tengah sebelah Utara (Ds. Kartosoegondodan Ds. Daniël), Gereja Menonit (Ds.
Djojodihardjo), Gereja Jawa Tengah sebelah Selatan (Ds. Wijoto Hardjotaroeno
dan Ds. Poerbowijogo), Gereja Pasundan (Abednego), Gereja Tionghoa Jawa Tengah
(Ds. Tan King Hien dan Sthe Tjiauw Bian). Beberapa gereja: “Gereja Huria (HKI),
HKBP, Punguan Kristen Batak (PKB),
gereja Masehi Indonesia (Indische Kerk), KGPM dll”, yang berkedudukan di
Jakarta turut diundang tetapi tidak dapat hadir. Dalam konferensi itu,
“semoeanja diundang tetapi tidak dapat hadir. Dalam konferensi itu “semoenja
merasa betapa perloenja Geredja-Geredja Protestan satoe sama lain berhoeboengan
jang erat dan teratoer, betapa perloenja bekerdja bersama-sama boekan sadja
didalam zaman jang soekar ini, melainkan djoega oentoek seteroesnja”.
Dan sesuai dengan
kepentingan itu konferensi membentuk Dewan Permoesjawaratan
Geredja-geredja Protestant di Indonesia (DPG, singkatan resminya Dewan
Geredja). Yang diterima menjadi anggota adalah “Synode-synode dari pada
Geredja Protestant di Indonesia”. Dalam Anggaran Dasar Sementara, tujuan DPG
ini dirumuskan:
Dewan ini dibentoek dengan toedjoean oentoek
mempersoalkan dan mempertimbangkan kepentingan Geredja-geredja bersama, baik
dalam hal-hal jang langsoeng mengenai kegeredjaan dan keagamaan, baik dalam
hal-hal jang mengenai lain-lain, jang ada hoeboengannja dengan kegeredjaan dan
keagamaan dan mendjalankan oesaha-oesaha oentoek tertjapainja kepentingan
terseboet.
Badan pengurus
hariannya hanya terdiri atas tiga orang: Ds. B. Probowinoto (Ketua), Mr. M.
Tamboenan (Penulis) dan Ds.The Siong Liong (Bendahari). Selain itu terdapat
seksi-seksi (Pekabaran, Penerbitan Al kitab, Perhubungan denga Luar Negeri,
Urusan Agama dan Pemerintahan, Usaha ke arah Persatuan Gereja-gereja Oecumenie
yang beranggotakan satu orang dari masing-masing keenam gereja anggota pada
setiap seksi.
Tampaknya DPG
tidak dapt berbuat banyak karena berada di pusat pergolakan perang kemerdekaan
Republik Indonesia melawan Belanda. Tetapi gebrakannya untuk menampilkan gereja
Indonesia sangat bermakna. Pada konferensi pembentukannya
dilangsungkan suatu sidang khusus mengenai pekabaran Injil yang secar radikal
menyatakan bahwa pekabaran Injil merupakan tanggungjawab gereja-gereja di
Indonesia dan bahwa Zending dari luar negeri menghalangi usaha keesaan dan
mengurangi minat gereja-gereja di Indonesia menangani tugas pekabaran Injil
itu. Sebab itu, sidang berkesimpulan bahwa badan-badan Zending dari luar negeri
menghalangi usaha keesaan dan mengurangi minat gereja-gereja di Indonesia
menangani tugas pekabaran Injil itu. Sebab itu, sidang berkesimpulan bahwa
badan-badan Zending dari luar negeri tidak perlu lagi datang ke Indonesia;
pekabar-pekabar Injil mereka boleh diutus tetapi sebagai tenaga yang
diperbantukan kepada dan diatur oleh gereja-gereja di Indonesia.
Pernyataan itu
jelas menimbulkan ketegangan, khususnya dengan pihak GKN, yang kemudiandapat
diselesaikan dalam Konferensi antar wakil-wakil DPG dengan GKN dan NHK di
Jakarta, pada tanggal 19-24 Mei 1947. Konferensi Kwitang ini menghasilkan
suatu naskah kesepakatan, yang dikenal sebagaiKwitang Accord. Bagian
terpenting dari kesepakatan Kwitang itu adalah enam pasalmengenai “Dasar dan
Cara Bekerja- Bersama” (Bab II). Lima pasal pertama berbunyi sebagai
berikut:
1.
Geredja
di Indonesia adalah Geredja-geredja
jang dewasa.
2.
Pekabaran
Injil di Indonesia itoe adalah teroetama kewadjiban dari Geredja-geredja di Indonesia.
3.
Geredja-geredja di Loear Negeri dapat mengkabarkan
Indjil di Indonesia bersama dengan Geredja-geredja
di Indonesia didalam mana Geredja-geredja
di Indonesia bertanggoeng djawab atas pekerdjaan itoe.
4.
Seloeroeh
doenia pada oemoemnja dan Indonesia pada choesoesnja adalah lapangan pekabaran
Injil dari Geredja-geredja di Indonesia.
5.
Karena
tanggoengan Geredja-geredja di Indonesia
dalam hal pekabaran Indjil besar sekali, maka Geredja-geredja di Indonesia masih perloe menggoenakan
bantoean dari Geredja-geredja di Luar Negeri, agar dapat melaksanakan
kewadjiban terseboet diatas.
Pasal terakhir
mengenai pelembagaan kerjasama jkedua pihak, yang dikenal sebagai Kwitang
Structuur, adalah pembentukan suatu “Madjelis Wakil-wakil Geredja-geredja”
(College van Deputaten) Indonesia dan Luar Negeri,dengan paling kurang ¾
jumlah anggotanya adalah wakil-wakil gereja-gereja Indonesia.
Dengna mengacu
pada telaah Kraemer mengenai kebangkitan gereja-gereja muda, laporan
Zendingcosulaat mencatat tiga pokok makna KonferensiKwitang (dengan “accord”
dan “structuur”nya): Konferensi Kwitang adalah bagian dari kesinambungan
gerakan kemandirian gerja-gereja muda, khususnya sejak Konferensi Yerusalem
(1928); ungkapanperalihan tanggungjawb pekabaran Injil sebgai tanda kedewasaan;
dan merupakan model bagi kerjasama antara gereja-gereja dalam dan luar negeri.
Walaupun pada
kenyataannya pihak Indonesia dalam konferensi itu hanya gereja-gereja Jawa,
maknanya sebagai gereja Indonesia diakui pihak Zending, mengingat posisi pulau
Jawa adalah “titik api strategi situasi zending di Indonesia”.
c) Gereja-gereja Cina
Selain DPG
sebagai wadah oikumenis “gereja-gereja Jawa”, juga pengelompokan sejenis
terdapat di kalangan gereja-gereja Cina dan dalam rumpun Gerej Protestan.
Kebersamaan gereja-gereja Cina di Indonesiaa sudah berlangsung sejak tahun
1926, ketika umat Kristen Cina mengadakan konferensi di Cipaku, dekat
Bogor, membicarakanpenyatuan dan pembinaan gereja mengikuti pola three
self movement.
Pada tahun berikutnya, konferensi di
Cirebon membentuk Bond van Chinese Christenen, yang menjadi Geredja
Tionghoa Serikat pada tahun 1934. Pada tanggal 25-28 Mei 1948
wakil-wakil dari 49 jemaat Cina di Pulau Jawa, Makassar, Pontianak, Singkawang
dan Bangka-Bilition mengadakan konferensi di Jakarta. Konferensi dengan
perutusan dari 69 jemaat pada tahun berikutnya berhasil mendirikan Dewan
Geredja-Geredja Kristen Tionhoa di-Indonesia (DGKTI). Dewan ini
bertujuan:
1.
mempererat
perhubungan Geredja Kristen
Tionghoa, agar persatuan tertjapai.
2.
mentjari
perhubungan degan geredja-geredja di Indonesia chusucnja.
3.
membantu
memperluas pekabaran Indjil.
Walaupun jelas
merupakan pengelompokan etnis, gerakan keesaan gereja-gereja di kalangan orang
Cina juga merupakan bagian dari usaha mendewasakan dan mempersatukan gereja di
Indonesia.
d) Kalangan GPI: Keesaan Jeruk
Reorganisasi
Gereja Protestan melahirkan empat gereja:GMIM (1934), GPM (1935), GMIT (1947)
dan GPIB (1948).
Sinode Am ke-3
GPI pada bulan Juni 1948 di Bogor membicarakan tata gereja (Kerkorde), terutama
mengenai perhubungan antara GPI dengan gereja-gereja yang berdiri sendiri di
dalmanya, dalam rangka mempertahankan ikatan kesatuan. Percakapan didasarkan
pada hasil suatu komisi teologi. Pengantar yang disampaikan oleh Dr. Rasker,
mengingatkan dua segi dalam soal hubungan itu, segi keesaan Gereja Protestan
dan segi kemandirian gereja. Kemandirian gereja, tegasnya, “boekan berarti 100%
berdiri sendiri”, karena “di dalam Kristoes tida ada satoe orag jang berdiri
sendiri dengan 100%, sehingga kita bersangkoetan satoe sama lain”. Maka
pentinglah untuk memegang keesaan sebagai mana telah dijalani sebelumnya:
Kita haroes teroes pegang keesaan jang soedah
ada dan sekarang kita haroes adakan sedikit perebahan dalam organisasi. Oleh
karena kebangoenan rohani dan keisjafan nationaal ada timboel banjak soal-soal dalam lapangan Geredja ada
diboetoehkan satoe decentralisasie lebih dari pada doeloe-doeloe.
Toedjoean kita adalah soepaja ada 4 Geredja
berdiri sendirijang tida teritoeng dalam geredja Maloekoe, Minahasa atau Timor,
tetapi dalam bagian terbesar dari pada kepulauan ini.
Para peserta
sidang menyambut hangat soal ini dan berbagai pandangan dikemukakan, yang
intinya menyetujui dipertahankannya keesaan. Tekanan desentralisasi dengan
mempertahankan bentuk kesatuan yang lama di bawah Kerkbestuur oleh Dr. Rasker
ditanggapi secara mendalam oleh Ds.A.Z.R. Wenas.59Menurut
Ds. Wenas, bentuk kesatuan yang lama sudah harus ditinggalkan untuk megikuti
suatu Tata Gereja yang mengarahkan pada satu Gereja di Indonesia. Ds. Wenas
mendukung kemandirian dalam kesatuan, tetapi menolak suatu “kesatuan-kerk”,
karena akan bersifat sentralis dan akan menjadikan gereja-gereja yang mandiri
sebagai gereja-gerjea daerah.
Jika kita berbicara mengenai Gereja Protestan
(bukan satu Gereja Protestan), maka inilah doa kita, bahwa juga gereja-gereja
Indonesia lainnya akan berhimpun sekeliling Gereja Protestan di Indonesia. Jika
kita mempertahankan Gereja-Gereja daaerah, maka gereja-gereja yang lain menutup
diri. Itu berarti kemunduran. Jika Tata Gereja diterima, kesatuan tak pernah
dicapai. Haruslah ada Tata Gereja yang diterima pihak-pihak yang lain.
Setelah diskusi,
sidang menyetujui usul Kerkbestuur untuk menunjuk suatu panitia untuk
merumuskan jalan menuju keesaan kekristenan di Indonesia:
Ds. Keers menyatakn bahwa Kerkbestuur
mengusulkan untuk menunjuk suatu panitia,yang teriri atas wakil-wakil
Gereja-Gereja mandiri di Indonesia bagian Timur, dengan Dr. Emmen, Dr. Brouwer,
Dr. Van Beyma dan wakil-wakil masing-masing Dewan, yang akan memberi satu suara
kepada Gereja-Gereja muda. Panitia ini akan berusaha memberi bentuk kepada apa
yang harus terjadi pada masa depan dan memutuskan jalan mana yang harus
ditempuh Gereja Protestan menuju kesatuan Kekristenan di Indonesia.
Karena keputusan
itu dianggap sangat penting maka Ds. B. Keers, ketua sidang, meminta Ds. B.S.
Supit memimpin peserta dalam doa khusus Hasil pekerjaa panitia ini adalah
sebuah dokumen dwibahasa (Indonesia dan Belanda)berjudul “Berita” (Boodschap),
yang merupakan penyampaian keada gereja-gereja lain mengenai keesaan GPI dengan
ajakan untuk menggabung di dalamnya, membentuk satu Gereja di Indonesia. Inti
“Berita” dalam empat butir uraian itu terdapat dalambutir yang terakhir sebagai
berikut:
1.
Adalah
soeatoe keoentoengan bagi kami bilamana kami hendak mengkabarkan kepada
saudara-saudara, bahwa Synode am Geredja Protestant di Indonesia di Bogor telah
berhasil mengadakan soeatoe tertib baharoe mengenai hoeboengan-hoebongan
keempat geredja-geredja jang berdir
sendiri jang terhisab padanaja dan keesaan telah beroesaha dari pihaknja
sendiri, memberi soembangannja pada pembaharoean soesoenan kehidupan kehidoepan
dan perhoeboengan geredja. Dalam soesoenan terseboet, tiap-tiap geredja jang
berdiri sendiri mempoenjai pertanggoengan djawab sepenoeh-penoehnja terhadap
oesahanja sendiri dengan pimpinan Synodenja sendiri. Geredja-geredja itoe berhimpoen dalam
soeatoe Sidang-Geredja Am dengan mengirim oetoesan-oetoesannja jang ditentoekan oleh
synodenja.
2.
Maka
dalam Sidang-Gredja Am inilah, geredja2 iteo menjatakan keesannja dalam ikrar,
dalam panggilan rasoeli, dalam penjelenggaraan bersama pendidikna dan peroepaan
pendjawat-pendjawat
Geredja, dan dalam tanggoeng-djawabnja menolong satoe demi jang lalin dalma
perkara-perkara praktis.
Teranglah, bahwa Sidang-Geredja Am ini akan melajani geredja-geredja dengan memberi penerangan dan
pimpinan jang amat perloe mengenai masalah-masalah jang amat berarti setjara
prinsipil oentoek kehidoepan geredja-geredja.
Geredja-geredja
jang meroepakan bersama-sama geredja jang esa ini, haroeslah memandang segala
badan-badan pelajan dari
Sidang-Geredja Am itoe, selakoe badan-badannja sendiri. Pada waktoe-waktoe jang tertentoe mereka akan berhimpoen
dengan oknoem-oknoem jang
bertanggoengdjawab, akan memperkokohkan pimpinan dan akan menetapkan dengan
lebih tegas toegas-toegasnja jang
istimewa.
3.
Sinode
Am menyatakan pengharapanja, kiranja Rohoel-mengambil kepoetoesan jang penting
ini. Baginja, adalah ini soeatoe sjoekoer, bahwa ia dapat memperhadapkan
sekarang kepoetoesan ini kepada saudara-saudara.
kami berboeat hal ini dengan pengharapan, kiranaj saudara-saudara djoega sedia hati mempertimbangkan
dengan soenggoeh soal-soal, jang
diperhadapkan disini. Adalkah soeatoe kegirangan besar bagi kami bilamana
diantara kita terdapatlah hal-hal jang menghentar kita pada pertjakapan
geredjani jang mendalam, pada perikatan jang lebih erat dan oesaha bersama
setjara praktis, didasarkan atas kejakinan kita bersama, bahwa kita esa adanja
dalam iman dan ikrar.
4.
Synode
Am menyatakan pengharapannja, kiranja Rohoel-koedoes akan memimpin kita
sekalian saudara-sudara dengan kami,
dalam kebenaran Indjil Toehan kita Jesoes Kristoes, menoedjoe keesan Geredja
Toehan di tanah ini, serta djoega pada menantikan dengan kesoekaan hati
kedatangan Keradjaan Allah.
Dengan “berita”
ini GPI menawarkan suatu model keesaan gereja, yang dikiaskan sebagai keesaan
jeruk, di mana kemandirian masing-masing gereja diperdamaikan dengan
keesaan seluruh gereja. Model keesaan, yang dengan hati-hati diusulkan GPI
ini, mendapat kecaman-kecaman dengan tuduhan bahwa GPI bersifat imperialis
(hendak menguasai gereja-gereja lain) atau berusaha mengabortus rencana
pembentukan suatu dewan gereja-gereja, yang panitianya sudah dibentuk, atau
bahwa ingin BAPEAMnya (Badan Pekerja Am, mengganti Kerkbestuur GPI) menjadi
pusat Dewan Gereja-gereja di Indonesia.
Sebab itu, dalam
penjelasannya pada Konferensi Persiapan DGI, Ds. Rumambi menyatakan sikap GPI
terhadap rencana pembentukan DGI:
Djikalau
Geredja di-Indonesia hendak mentjapai kesatuan, lain dari Geredja Protestant,
maka Badan Pekerdja Am dengan rela bubarkan diri, djikalau kesatuan itu lebih
sempurna dan hendak menghisapkan dirinja dalam badan itu. Keterangan ini perlu,
supaja semua kesulitan dan wsangka dihapuskan. Maka semua suara-suara jang didengar terhadap Geredja
Protestant di-Indonesia harus dihapuskan, djikalau hendak bentuk suatu Dewan
Geredja-geredja di-Indonesia.
Maka teranglah sekarang, bahwa Geredja Protestant di-Indonesia hendak menjokong
dan membantu berdirinja Dewan Geredja-geredja.
Badan Pekerja Am menjokong Dewan Geredja-geredja
di-Indonesia dan bekerdja terus membantu akan mempereratkan Geredja-geredja di-Indonesia.
BAB
IV
Gerakan Oikumene di Indonesia dan lahirnya
Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI)
A. Latar Belakang
Pada tahun 1947
Ds.W.J. Rumambi, sebagai sekretaris Madjelis Keriten, menghubungi Ds.B.
Probowinoto (wakil DPG), Ds.T. Sihombing (wakil Madjelis Geredja Sumatera dan
Ds.H. Dingang (Ketua Geredja Dajak Evangelis) menyampaikan suatu usul, yang
dilampiri “Rentjana Anggaran Dasar dan Rentjana Peratoeran Roemah Tangga
Madjelis Oesaha Bersama Geredja-Geredja Keristen di Indoensia” hasil konferensi
Malino, untuk pembentukan suatu badan oikumenebagi gereja-gereja di seluruh
Indonesia.
Kemudian, pada
bulan Januari 1948, bersama sejumlah tokoh Kristen di Jakarta mereka membentuk
Panitya Perantjang yang diketuai Ds. B.A. Supit, dr.J.E. Siregar sebagai
Sekretaris, dan Mr. A.L. Fransz bersama para sekretaris dewan daerah dan Ketua
GDE sebagai anggota-anggota;
sedangkan
Dr.T.S.G. Moelia sebagai penasehat. Tetapi suatu panitia baru, dengan Moelia
sebagia Ketua dan Rumambi sebagai Sekretaris, berhasil mempersiapkansuatu
rancangan Anggaran Dasar dan peraturan-peraturan untuk bagian-bagian badan
oikumenis yang direncanakan itu serta persiapan-persiapan untuk pelaksanaan
konferensi.
Setelah
pembentukan Dewan Gereja
Sedunia di Amsterdam pada konferensi tanggal
22 Agustus – 4 September 1948, direncanakan akan berlangsung suatu persidangan
Joint Office WCC dan IMC untuk Asia Timur pada bulan Desember 1949 di
Bangkok. Para pemuka gerakan oikumene di Indonesia berharap bahwa wadah
oikumene nasional sudah akan terbentuk untuk dapat diterima sebagai anggota IMC
dalam sidang di Bangkok itu. Tetapi persiapan panitia baru memungkinkan
konferensi pembentukan wadah nasional itu dilangsungkan tanggal 7-13 Nopember
1949 di Jakarta.
Konferensi itu (yang dikenal sebagai Konferensi Persiapan DGI) dihadiri 19
orang utusan yang mewakili 29 gereja dan 28 orang peninjau dari berbagai badan
kegerejaan, termasuk panitia.
Sebelumnya, dalam
rapat panitia pada bulan Pebruari 1949, telah dipersiapkan suatu konsep
Anggaran Dasar yang berisi lima belas pasal. Penyempurnaan konsep itu
menghasilkan Anggaran dasar Baru di mana nama “madjelis” diganti menjadi
“dewan” dan badan oikumene yang akan dibentuk ditetapkan bernama Dewan
Geredja-Geredja di Indonesia, dengan tujuan “pembentukan Geredja Kristen
jang esa di Indonesia”.
Selain itu
konferensi juga menghasilkan suatu seruan mengenai rencana tersebut kepada
“Geredja-geredja, perkumpulan-perkumpulan dan umat Kristen di Indonesia dan
sekalian jang suka mendengarnja”. Konferensi memutuskan bahwa pembentukan Dewan
akan dilakukan pada suatu konferensi sekitar Hari Pentakosta tahun
berikutnya.
Sesuai rencana,
konferensi pembentukan dilangsungkan tanggal 22-28 Mei 1950 bertempat di aula
STT Jakata. Sedianya sidang akan segera memaklumkan pembentukan DGI, tetapi Ds.
Probowinoto meminta pembicaraan Anggaran dasar terlebih dahulu, yang berkembang
menjadi perdebatan sengit antara Ds. Probowinoto dengan Ds. Rumambi, yang
masing-masing mendapat dukungan dari peserta sidang. Masalahnya adalah adanya
sisipan Paniotia Persiapan pada Anggaran Dassar yang telah disepakati pada
sidang bulan Nopember 1949, yaitu menambahkan bahwa badan-badan Zending
diterima sebagaiassociated member.
Akhirnya disepakati
untuk membentuuk sebuah panitia khusus yang akan menyempurnakan Anggaran Dasar.
Panitia khusus tersebut terdiri atas: Probowinoto, Soesilo, Sinaga, Sahulata,
Tan Yoe Gie dan Rumambi. Panitia ini mengajukan hasil pekerjaannya pada tanggal
25 Mei, yang diterima setelah tanggapan dan penyempurnaan oleh sidang.
Keanggotaan badan Zending dihapuskan dengan suatu lampiran penjelasan. Dengan
demikian berdirinya Dewan Geredja-geredja di Indonesia disahkan, disusul
pembacaan “Pengumuman” oleh Ds. Rumambi dan doa syukur yang dipimpin
berturut-turut oleh Ds. Supit, Ds. Dingang, Ds. Khoe Lan Seng, Ds. Stelma dan
Ds. Suhadi.
Penolakan atas
keanggotaan badan-badan Zending dalam DGI menunjukan bahwa pada akhirnya
gerakan oikumene di Indoensia bersangkut paut dengan gereja, dan pekabaran
Injil adalah bagian dari tanggung jawabnya. Pandangan Ds. Probowinoto, yang
menolak keanggotan badan-badan Zending dalam DGI, jelas dipengaruhi
Kwitang-structuur dan juga memperlihatkan penolakan terhadap model pelembagaan
oikumenis Internasional, bahwa di samping WWC (gereja-gereja) ada IMC
(badan-badan Zending). Penjelasan mengenai penolakan badan-badan Zending
sebagai anggota DGI menyatakan:
1.
Zending
atau pekabaran Indjil adalah tugas dari tiap2 geredja, karena itu geredja-geredja di Indonesia djuga mempunjai badan-badan jang mengurus pekabaran Indjil
itu.
2.
Dengan
terbentuknya D.G.I., maka D.G.I. supaja mengkoordinir badan2 pekabaran Indjil
dari geredja-geredja Indonesia dalam
suatu komsi tetap jang melulu mengerdjakan tentang soal-soal pekabaran Indjil. Dalam komisi
pekabaran Indjil itulaj Zending luar negeri dapat bertemu dengan geredja-geredja di Indonesia. Pekabaran Injil dari
D.G.I. dan Pekabaran Indjil dari luar negeri merupakan suatu komisi yang
sekarang tugasnya hanja:
3.
Memikirkandan
menjelidiki soal-soal pekabaran Indjil
di Indoesia dn negeri2 lain, lalu mengandjurkan hasil-hasilnja kepada sekalian geredja-geredja dan Badan-badan Kristen di Indonesia.
4.
Penolakan
itu menandai peralihan dari pimpinan pihajk Zending Barat ke gereja-gereja
Indonesia. Hanya dalam komisi-komisi tertentu beberapa tenaga asing masih
dipertahankan.
B. Kesimpulan
DGD
(Dewan gereja-gereja sedunia) yang merupakan hasil dari Gerakan Oikumene,
memberikan suatu perkembangan yang baru bagi Gerakan Oikumene. Sebagai
realisasi di Indonesia, pada tanggal 6-13 Nopember 1949 diadakan konperensi
persiapan pembentukan DGI di Jakarta; dan akhirnya pada tanggal 25 Mei 1950
terbentuklah DGI (setelah SR X th. 1984 di Ambon, berubah nama menjadi PGI),
yang juga merupakan hasil dari gerakan Oikumene. Dan selanjutnya PGI menjadi
motivator utama bagi gerakan Oikumene di Indonesia.
C. Rangkuman Gerakan Oikumene Di
Indonesia
Proses gerakan
oikumene di Indonesia, sejak tahun 1928 sampai tahun 1950, memperlihatkan beberapa
garis yang jelas. Pertama-tama, pengaruh gerakan oikumene sedunia, khususnya
dalam IMC, cukup menentukan. Dalam kaitan itu, yang mela-mela menyadari
pentingnya kebersamaan dalam kerangka pekabaran Injil di Indonesia adalah
kalangan Zending. Tetapi kemudian, karena pengaruh dari kemandirian gereja,
terjadi perembesan gagasan oikumenis kepada kalangan orang Kristen Indonesia.
Dan selanjutnya faktor Perang Dunia II dan pendudukna Jepang menjadi gerakan
gerakan keesaan gereja-gereja di Indonesia.
Dalam proses
perembesan dan peralihan itu berperan penting “generasi muda Kristen berwawasan
baru”. Lulusan HTS dan mantan anggota CSV op Java terdapat di antara para
penganjur gerakan keesaan gereja dan pimpinan pertama DGI. Dan dalam dinamika
wawasan Zending dan wawasan nasionalisme mereka memberi isi pada gerakan
oikumene sebagai gerakan kekristenan di Indonesia menjawab panggilannya di
dalma kenyataan masyarakat, bangsa dan negara Indonesia.
DPG di Yogya
berusaha berada di garis depan tekanan ke Indonesia-an gerakan eesaan dan
kemudian mendesakkan model yang tepat bagi kedudukan Zending Barat
(Kwitang-structuur), tetapi adalah Madjelis Keristen di Makassar yang berhasil
mewujudkan hidup-bekerja-bersaksi bersama sebagai gereja secara konkret dan
dengan itu menjadi bentara bagi badan oikumensi konkret dan dengan itu menjadi
badan oikumenis nasional, DGI. Pengelompokan oikumenis lainnya adalah rumpun
GPI dengan model “keesaan jeruk”nya, sedangkan gereja-gereja di Sumatera dan
Kalimantan belum tampil dengan suatu sumbangan khusus pada masa it.
Selanjutnya, sebagaimana halnya dalam kemandirian gereja, dalamgerakan keesaan
gereja pengaruh nasionalisme tidak secara langsung, dalam arti kebersamaan yang
diupayakan bukanlah merupakan penyatuan kekuatan melawan dominasi asing di
dalam gereja-gereja. Yang terjadi adalah suatu proses pencarian bentuk
kebersamaan oikumenis dengan gereja-gereja dalam lingkup internasional (baca:
Zending Barat), yang ditemukan dalam “Kwitang-structur” itu. Artinya, baik
orang Kristen Indonesia, maupun para pekabar Injil Barat sama menyadari (dan
mendukung) bahwa kedewasaan gereja-gereja di Indonesia justru terletak pula
dalam kemampuan untuk memberi setiap pihak tempatnya yang tepat dalam
kebersamaan menjalankan panggilan gereja di Indonesia.
Pembentukan wadah
oikumenis dalam bentuk dewan gereja-gereja, bukan menggabung pada GPI atau
membentuk sebuah gereja nasional (sesuai usul GMIM) merupakan jalan pendamaian
antara proses kemandirian dengan proses keesaan gereja. Pada jalan ini, masalah
perbedaan atau pengelompokan gereja-gereja di Indonesia, terutama sebagai greja
suku, diarahkan ke dalam kebersamaan. Kenyataan perbedaan itu tidak dihapuskan,
melainkan diberi tempat dalam kerangka perhatian pada kebhinekaan Indonesia
sebagai satu wawasan dalam panggilan kekristenan di Indonesia. Dengan itu
maka dalam tujuan gerakan oikumene di Indonesia, pembentukan Gereja
Kristen yang esa di Indonesia, bergaung gema nasionalisme bahwa
gereja-gereja di Indonesia dipanggil dari dan bagi bangsanya.
BAB V
Sejarah
lahirnya Persekutuan Gereja Lembaga Injili Indonesia (PGLII)
A.
Pendahuluan
Dua
tahun setelah Oikumenis WCC ( World Council of Churches) dibentuk pada tahun
1984 di Amsterdam – Belanda, pada tahun 1951 dalam Konvensi Internasional Evangelikal
di Wondschoten dibentuklah organisasi World Evangelical Fellowship (WEF) atau
Persekutuan Injili Se- Dunia. WEF menjadi wadah internasional bagi berbagai
organisasi Kristen Injili. Sejak tahun 2002, World Evangelical Feelowship (WEF)
berubah namanya manjadi World Evangelical Alliance (WEA).
Dua gerakan misi
Kristen modern dicirikan oleh dua pola pendekatan, yang satu oikumenikal dan
yang lainnya evangelical. Gerakan misi ini tentunya sangat berpengaruh bagi
gerakan misi di Indonesia yang akhirnya juga terpolarisasi pada dua gerakan
misi, yaitu oikumenikal dan evangelical.
Gerakan
evangelical di Indonesia menemukan bentuknya melalui pergumulan yang intens
dari tokoh-tokoh injili pada bulan Juni 1971 di City Hotel Jakarta dan pada
bulan Juli 1971 di Batu, Malang – Jawa Timur, yang kemudian melahirkan
Persekutuan Injili Indonesia (PII)
B.
Lahirnya Persekutuan Injili Indonesia
Dalam
catatan sejarah PII, kami melihat bahwa tolak ukur utama dalam pergumulan untuk
mewujudkan gerakan bersama kaum injili di Indonesia adalah “persekutuan.” Kata
kunci ini menjadi acuan awal dari gerakan, yang oleh karenanya sejak awal tahun
1969 tokoh – tokoh injili di Indonesia ketika membidani lahirnya gerakan dan
wadah besar (PII) dimulai dengan kegiatan yang kelihatannya kecil tetapi
memiliki “power” yang sangat besar dan luar biasa, yaitu “ persekutuan.”
Tokoh – tokoh
injili menjadikan “persekutuan “ sebagai wahana dan wacana untuk :
1. Membahas beban bersama dalam bidang
pekabaran Injil dan misi di Tanah Air.
2. Menggumuli kebutuhan akan suatu wadah bagi
Gereja, lembaga dan badan misi Injili
di Indonesia.
3. Menampung aspirasi dari Gereja, yayasan dan
badan-badan misi di Indonesia.
4. Bersekutu dan bersama-sama memberitakan
Injil.
Persekutuan dan
pergumulan bersama yang dilakukan selama dua tahun akhirnya melahirkan wadah
yang besar dalam arus gerakan misi injili bagi gereja, lembaga, yayasan dan
badan-badan misi injili di Indonesia.
Mendahului
lahirnya Persekutuan Injili Indonesia, di Ramayana Hotel City, Tanah Abang-
Jakarta, pada tanggal 15 Juni 1971 diselenggarakan persekutuan / pertemuan yang
dihadiri oleh l.k 100 hamba-hamba Tuhan.
Dalam pertemuan
tersebut disepakati 4 hal penting :
1. Nama wadah pelayanan / perjuangan bersama
adalah Persekutuan Injili Indonesia
2. Pengurus (sementara) ditetapkan sebagai
berikut :
- Ketua : Pdt. DR. Petrus Octavianus
- Sekretaris : Pdt. Willem Hekmann
- Bendahara : Philip Leo
3. Pengurus (sementara) bertugas mempersiapkan
Kongres Nasional I Persekutuan Injili Indonesia.
4. Pengurus (sementara) bertugas mempersiapkan
konsep rumusan mukadimah lahirnya Persekutuan Injili Indonesia dan konsep AD/ART
Persekutuan Injili Indonesia.
Pada
tanggal 17 Juli 1971 di Batu, Malang – Jawa Timur dirumuskan lahirnya
Persekutuan Injili Indonesia (PII) dengan moto ” Dipanggil untuk Bersekutu dan
Memberitakan Injil” yang didasarkan pada Matius 28 : 19 dan Galatia 5 : 1.
Momentum ini ditetapkan sebagai hari lahirnya Persekutuan Injili Indonesia.
Tokoh – tokoh
yang terlibat secara intens dalam pergumulan proses lahirnya PII adalah sebagai
berikut : Bp. Pdt. DR. P. Octavianus, Bp. Pdt. DR. Ais. M. O. Pormes, Bp. Pdt.
G. Neigenfrad, Bp. Pdt. W. Hekmann, Bp. Brigjen (purn) N. Huwae, Bp. Philip
Leo, Bp. S. O. Bessie, Bp. Pdt. DR. HL. Senduk, dan Bp. Ev. S. Damaris, Pdt.
Ernest Sukirman dan Pdt. Andreas Setisawan.
BAB VI
Sejarah
lahirnya Persekutuan Gereja Pentakosta Indonesia (PGPI).
Kabar
Pentakosta mulai dikenal di Indonesia dengan berangkatnya 2 orang utusan
Pentakosta dari Seattle (USA) bersama keluarganya dengan menumpang kapal
"SUAMARU" pada tanggal 4 Januari 1921 menuju Jakarta (Batavia)
melalui Jepang, Hongkong, dan tiba pada bulan Maret 1921. Kedua utusan Injil
tersebut adalah Pdt. Cornelius E. Groesbeek dan istrinya yang bernama Marie van
der Weg bersama kedua putrinya (Jennie dan Corrie) serta Pdt. Richard D. van
Klaveren beserta dengan istrinya.
Dari Jakarta,
mereka kemudian melalui Mojokerto, Surabaya, Banyuwangi, dan seterusnya menuju
Singaraja (Bali) dengan kapal "Vankenboot".
Mereka menetap di
Denpasar dan tinggal di sebuah gudang kopra yang lantainya dari batu bata yang
sudah hancur dan atapnya terbuat dari rumbia. Mengapa mereka menuju ke Bali?
Karena mereka menerima visi harus pergi ke pulau Bali.
Meskipun
sengsara, mereka bekerja dengan giat menabur Injil sepenuh di pulau Bali dengan
jalan mendatangi rumah-rumah. Banyak jiwa yang dimenangkan tanpa mengadakan
kebaktian seperti sekarang ini, tanpa khotbah yang lazim dibuat dalam
gereja-gereja. Reaksi datang dari imam-imam Hindu yang marah dan bersepakat
untuk membunuh para misionaris tersebut. Lalu pemerintah kolonial Belanda tidak
mengijinkan rakyat Bali untuk diberi berita tentang kekristenan. Asisten
residen yang menduga adanya gerakan "me-Nasrani-kan" rakyat Bali
segera melarang keluarga Groesbeek menetap di Bali dengan alasan takut merusak
kebudayaan asli pulau Dewata tersebut. Setelah berdiam kurang lebih 21 bulan
lamanya di Bali, pada saat mendekati hari Natal 1922, keluarga ini pindah ke
Surabaya lalu kemudian keluarga van Klaveren menuju Jakarta.
Di
Surabaya, Pdt. Groesbeek berkenalan dengan Ny. Wijnen, yang mempunyai seorang
keponakan yang bekerja di BPN Cepi, namanya F.G. Van Gessel. Dengan perantaraan
Ny. Wijnen yang telah menerima kesembuhan ilahi setelah didoakan oleh Pdt.
Groesbeek, maka Sdr. F.G. Van Gessel diperkenalkan kepada Pdt. Groesbeek.
Memang sudah lama sekali George van Gessel memikirkan soal kehidupan rohani
yang lebih tinggi, maka kedatangan Pdt. Groesbeek ini mendapat sambutan hangat
sekali. Berita Pentakosta diterimanya dan kemudian di rumah Sdr. Van Gessel, di
Deterdink Boulevard, Cepu, pada bulan Januari 1923 dibuka kebaktian Pentakosta
yang pertama. Warga negara Indonesia yang bertobat adalah Bpk. S.I.P.
Lumoindong, yang juga seorang pegawai BPN.
Pada tanggal 30
Maret 1923 terjadi peristiwa rohani dengan adanya baptisan air yang pertama di
Indonesia, diadakan di Pasar Sore, Cepu, untuk 13 orang. Baptisan dilakukan
oleh Pdt. Thiensen dari Eropa dan di antara yang dibaptis adalah F.G. Van
Gessel dan istrinya, juga S.I.P. Lumoindong dan istrinya, juga August Kops.
Selanjutnya ibu
Van Gessel adalah orang yang pertama menerima baptisan Roh Kudus. Keluarga Van
Gessel menyerahkan hidupnya untuk Tuhan dan meninggalkan Cepu dan pekerjaannya
di BPN untuk kemudian pindah ke Surabaya. Di Surabaya muncul perintis-perintis
Pentakosta yang memberitakan kabar Injil di berbagai kota di Indonesia.
Pada
tahun 1925, untuk pertama kalinya diadakan konferensi Pentakosta untuk
mempersatukan pendeta-pendeta aliran Pentakosta. Pekerjaan tuhan berjalan
terus dan pada tanggal 4 Juni 1933 bangunan permanen gedung gereja
"PINKSTERGEMEENTE" yang pertama diresmikan. Surabaya menjadi pusat
Pentakosta pada waktu itu.
Pendidikan kader
hamba-hamba Tuhan diadakan oleh Pdt. Van Gessel dan datang pula keluarga W.W.
Patterson dari USA. Pada tahun 1935 beliau membuka Sekolah Alkitab "BIJBEL
INSTITUT IN NEDERLANSCH OOST INDIE (NIBI)" di Jl. Embong Malang Surabaya.
Pada
tahun 1955, hamba-hamba Tuhan aliran Pentakosta membantuk PAPSI (Persatuan Antar
Pendeta-pendeta Seluruh Indonesia). Persatuan ini selanjutnya sepakat untuk
membentuk organisasi persatuan dengan nama DKGKPSI (Dewan Kerjasama
Gereja-gereja Kristus Pentakosta Indonesia), dan juga lahirlah PPI (Persekutuan
Pentakosta Indonesia).
Menjelang Pemilu
1971, di Surabaya berdiri PUKRIP (Persekutuan Umat Kristen Pentakosta di
Indonesia) dan kemudian berubah nama menjadi Persekutuan Umat Kristen
Pancasila.
Pada
tanggal 28 Agustus sampai dengan 3 September 1979 di Jakarta
"DKGKPSI" dan "PPI" sepakat untuk bergabung menjadi satu.
Kesepakatan tersebut didukung dan direstui oleh Pemerintah RI
dalam Musyawarah Besar Penyatuan pada tanggal 14 September 1979 di
gedung Wanita-Kalibokor, Surabaya, dan terbentuklah DEWAN PANTEKOSTA INDONESIA
yang disingkat menjadi DPI. Dan kemudian berdasarkan keputusan Musyawarah Besar
IV DPI tanggal 22 Oktober 1998 di Ciparua, Bogor, maka nama DPI berubah menjadi
PERSEKUTUAN GEREJA-GEREJA PENTAKOSTA INDONESIA (PGPI).
PGPI dinyatakan
sebagai organisasi gerejawi yang mewakili aspirasi umat Kristen Pentakosta di
Indonesia yang sejajar dengan PGI (Persekutuan Gereja-gereja Indonesia) dan
PGLII (Persekutuan Gereja-gereja Lembaga Injili Indonesia). Ketiga organisasi
aras nasional ini telah sering bekerja sama khususnya dalam hubungan dengan
Pemerintah, selain juga adanya Gereja Bala Keselamatan, gabungan Gereja-gereja
Baptis Indonesia, Gereja Masehi Advent Hari Ke-7 (MAH) dan PGTI (persekutuan
Gereja-gereja Tionghoa Indonesia).
BAB VII
5 DOKUMEN KEESAAN GEREJA
Berdasarkan
pengakuan bahwa tiap gereja adalah ungkapan dari gereja yang esa.kudus,am dan rasuli dan bahwa semua gereja disegala
zaman dan tempat terpanggil untuk melaksanakan tugas panggilan gereja yang sama
dan satu yaitu memberitakan, maka gereja-gereja diseluruh dunia bertanggung
jawab melaksanakan tugas panggilan itu dalam persekutuan dan kerjasama serta
saling menghormati dan menghargai keberadaan masing-masing. Dalam mengembang
panggilan oikumene semesta maka hubungan dan kerjasama oikumenis perlu dibina.
Yang dimaksudkan
dengan hubungan-hubungan oikumenis adalah hubungan dengan gereja-gereja dan
lembaga-lembaga Kristen di Indonesia yang tidak atau belum menjadi anggota
PGI dan PGI
wilayah.
Sejarah Kelahiran “Lima Dokumen Keesaan Gereja”(LDKG)
Secara resmi LDKG lahir selaku keputusan SR X DGI/PGI 1984 Ambon tahun 1984. rumusan LDKG Ambon telah mengalami beberapa perubahan dalam upaya penyempurnaan dalam SR XI PGI Surabaya dan SR XII PGI 1994 Jayapura sehingga mencapai bentuk yang sekarang. ( Buku, Lima Dokumen Keesaan Gereja ).
Ketika DGI dibentuk tahun 1950 dengan tujuan pembentukan Gereja Kristen yang Esa di Indonesia belum ada bayangan/gambaran mengenai Gereja Kristen yang Esa di Indonesia itu. Setelah dibentuk baru kemudian diperkembangkanlah pemahaman dan gambaran mengenai Gereja Kristen yang Esa tersebut.
Sejarah Kelahiran “Lima Dokumen Keesaan Gereja”(LDKG)
Secara resmi LDKG lahir selaku keputusan SR X DGI/PGI 1984 Ambon tahun 1984. rumusan LDKG Ambon telah mengalami beberapa perubahan dalam upaya penyempurnaan dalam SR XI PGI Surabaya dan SR XII PGI 1994 Jayapura sehingga mencapai bentuk yang sekarang. ( Buku, Lima Dokumen Keesaan Gereja ).
Ketika DGI dibentuk tahun 1950 dengan tujuan pembentukan Gereja Kristen yang Esa di Indonesia belum ada bayangan/gambaran mengenai Gereja Kristen yang Esa di Indonesia itu. Setelah dibentuk baru kemudian diperkembangkanlah pemahaman dan gambaran mengenai Gereja Kristen yang Esa tersebut.
Dalam proses pengembangan pemahaman dan gambaran tersebut dari satu Sidang Raya ke Sidang Raya berikutnya kian dirasakan adanya semacam ketegangan antara 2 kecendrungan
yaitu :
1. Kecendrungan untuk mengutamakan keesaan rohani dalam kristus dan karena itu enggan membahas hal-hal yang menjurus kepada penyatuan secara struktural organisatoris.
2. Kecendrungan untuk mengutamakan keesaan struktural organisasi dan karena itu kurang sabar terhadap segala perbedaan dan sikap mempertahankan identitas diri masing- masing.
Dalam upaya menampung kedua kecendrungan ini dan bersamaan dengan iklim yang sedang mempengaruhi Dewan Gereja se-Dunia ( DGD ) dilakukan dengan pola pendekatan melalui 3 komisi antara lain :
1. Komisi Faith and Order ( Iman dan Tata Gereja )
2. Komisi Life and Work ( Hidup dan Karya Gereja )
3. Komisi Mission and Evangelism ( Misi dan Pekabaran Injil )
Dan DGI-pun menata diri dengan 3 pola diatas, dan dimulailah studi dan penyelidikan bersama mengenai pengakuan iman, tata gereja, katekisasi, liturgi yang digunakan oleh gereja-gereja anggota.
1. Kecendrungan untuk mengutamakan keesaan rohani dalam kristus dan karena itu enggan membahas hal-hal yang menjurus kepada penyatuan secara struktural organisatoris.
2. Kecendrungan untuk mengutamakan keesaan struktural organisasi dan karena itu kurang sabar terhadap segala perbedaan dan sikap mempertahankan identitas diri masing- masing.
Dalam upaya menampung kedua kecendrungan ini dan bersamaan dengan iklim yang sedang mempengaruhi Dewan Gereja se-Dunia ( DGD ) dilakukan dengan pola pendekatan melalui 3 komisi antara lain :
1. Komisi Faith and Order ( Iman dan Tata Gereja )
2. Komisi Life and Work ( Hidup dan Karya Gereja )
3. Komisi Mission and Evangelism ( Misi dan Pekabaran Injil )
Dan DGI-pun menata diri dengan 3 pola diatas, dan dimulailah studi dan penyelidikan bersama mengenai pengakuan iman, tata gereja, katekisasi, liturgi yang digunakan oleh gereja-gereja anggota.
Disadari bahwa
keesaan gereja bukan hanya sekedar keesaan rohani saja,tetapi sekaligus tampak
dalam wujud yang kelihatan (kelembagaan) sehingga keesaan rohani menjadi
kesaksian kepada dunia. Keesaan juga bukan keseragaman (uniformitas) dan bukan
pula keterpisahan melainkan keragaman dalam kebersamaan.
Setelah SR IX DGI 1980 Tomohon, BPH DGI menyampaikan gagasan mengenai pembaharuan struktur,nama dan sarana DGI. Dalam gagasan tersebut dikemukakan 2 langkah penting :
pertama,bertolak dari peristiwa pembentukan
DGI selaku badan persekutuan Oikumene gereja-gereja di Indonesia maka mesti
dilaksanakan kegiatan-kegiatan untuk mengungkapkan keesaan gereja secara lebih
nyata.
kedua, setiap kali sesudah jangka waktu
tertentu perlu dipersiapakan langkah-langkah baru dan untuk itu perlu
dilembagakan kemajuan-kemajuan yang dicapai ditahun-tahun sebelumnya dan
mendorong kemajuan-kemajuan baru ditahun yang akan datang.
Titik tolak inilah yang kemudian melahirkan konsep LDKG.
Dengan mempelajari keputusan-keputusan sidang raya-sidang raya sebelumnya dan dengan memperhatikan perkembangan pemikiran-pimikiran baru yang dilahirkan dari gerakan Oikumene sedunia (DGD) maka di buat suatu daftar mengenai pemahaman keesaan gereja yang menyebut bahwa gereja yang esa itu harus :
1. mempunyai satu pengakuan iman
2. mempunyai satu tata gereja dasar
3. Dapat Beribadah bersama dan merayakan perjamuan kudus (PK)
4. Mempunyai wadah disetiap tingkat untuk bermusyawarah dan menentukan hal-hal yang menyangkut pelaksanaan tugas panggilan bersama.
5. Tindakan saling mengakui dan saling menerima.
6. terpanggil untuk memberitakan injil
7. diwarnai oleh tindakan saling membantu dan saling menopang.
Dalam pengembangannya dipadatkan menjadi 5 butir saja yaitu 2 & 4 dijadikan satu dan 3 & 5 disatukan. Dari sini akhirnya lahir lima ciri pokok gereja kristen yang esa di indonesia :
a. Satu pengakuan iman
b. Satu wadah bersama
c. Satu tugas penggilan dalam satu wilayah bersama
d. Saling mengakui dan saling menerima
e. Saling menopang.
Pada sidang
BPL-DGI 1981 lahirlah konsep tentang “SIMBOL-SIMBOL KEESAAN” yang meliputi 4
dokumen yaitu :
1. PIAGAM PRASETYA KEESAAN
2. PEMAHAMAN IMAN BERSAMA
3. PIAGAM SALING MENERIMA SALING MENGAKUI
4. TATA DASAR GEREJA
Konsep awal mengenai simbol-simbol keesaan mengalami perluasan, pembaharuan, dan peningkatan sehingga akhirnya lahirlah “LIMA DOKUMEN KEESAAN GEREJA” (LDKG)
1. PIAGAM PRASETYA KEESAAN
2. PEMAHAMAN IMAN BERSAMA
3. PIAGAM SALING MENERIMA SALING MENGAKUI
4. TATA DASAR GEREJA
Konsep awal mengenai simbol-simbol keesaan mengalami perluasan, pembaharuan, dan peningkatan sehingga akhirnya lahirlah “LIMA DOKUMEN KEESAAN GEREJA” (LDKG)
yang terdiri dari
:
1. Pokok-pokok Tugas Panggilan Bersama (PTPB)
2. Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK)
3. Piagam Saling Menerima dan Saling Mengakui (PSMSM)
4. Tata Dasar PGI
5. Menuju kemandirian Teologi, Daya dan Dana.
BAB VIII
Oikumene Gereja Bagi
Persatuan NKRI
Jika ditelusuri sejarah kebangsaan Indonesia,
tidak dapat dipungkiri bahwa negara Republik Indonesia ini terbentuk melalui
perjuangan seluruh komponen bangsa. Baik sebelum dan sesudah proklamasi
kemerdekaan RI maupun pada masa sekarang ini, keterlibatan umat kristen dalam
perjuangan dan pembangunan nasional selalu di inspirasikan dan dimotivasi
semangat kekristenan yang okumenis dan Injili serta rasa memiliki dan semangat
perjuangan sebagai bagian dari bangsa.
Yeremia 29:7
”Usahakanlah kesejahteraan kota kemana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota
itu kepada Tuhan, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu”. Nats
ini mengindikasikan bahwa umat Tuhan tidak dapat melepaskan diri dari
lingkungan dan masyarakat dimana dia berada. Meskipun kondisi umat Tuhan
sedang dalam pembuangan di Babilonia, dimana mereka berada dalam tekanan dan
penderitaan, tapi mereka diperintahkan Tuhan untuk mengusahakan kesejahteraan
kota itu. Tentu perintah ini mempunyai alasan karena mereka sendiri hidup di
kota itu. Kesejateraan yang tercipta di kota dimana mereka berada akan merimbas
kepada mereka.
Orang kristen di Indonesia bukan saja hanya
tinggal di Indonesia tetapi juga merupakan bagian dan pemilik negeri ini.
Karena itu orang kristen mutlak harus memikirkan kesejahteraan negeri ini.
Mengusahakan kesejahteraan Indonesia merupakan tanggung jawab orang kristen
baik sebagai warga negara terlebih sebagai utusan Tuhan.
Memang sekarang
ini tantangan bagi umat Tuhan semakin berat karena maraknya persoalan yang
mencabik-cabik rasa persatuan dan kesatuan ditengah anak bangsa. Penghargaan
terhadap perbedaan/pluralisme budaya, suku terlebih agama seakan tidak lagi
mendapat tempat dihati kebanyakan orang. Istilah minoritas dan mayoritas yang
diwariskan orde baru untuk pemuluk agama di Indonesia secara tidak langsung
telah juga mengkotak-kotakkan warga negara. Merasa lebih berhak karena lebih
mayoritas bagi pemeluk salah satu agama di Indonesia berimplikasi pada tindakan
dan keputusan-keputusan yang merendahkan hak-hak setiap warga negara.
Keputusan demokratis atas dasar jumlah suara terbanyak di dalam
masyarakat, lembaga-lembaga negara, legislatif akhirnya lebih memihak pada kepentingan
mayoritas. Maka muncullah berbagai perundangan yang tidak mencerminkan semangat
kebersamaan.
Kondisi
ini diperparah dengan sikap pemerintah yang tampaknya kurang tegas dalam
menyikapinya. Berbagai kasus anti pluralisme berupa pelanggaran hak, kekerasan
dan konflik yang timbul tidak ada penyelesaian yang memadai.
A. Pemikiran Keesaan
Gereja Dalam Konteks NKRI (pandangan para tokoh oikumene)
Dalam
pandangan Pdt.Dr.W.J. Hendriks, bahwa sampai sekarang belum melihat adanya
pemimpin yang punya integritas nasional, malah kecenderungan pemimpin sekarang
memanfaatkan situasi untuk mengokohkan kedudukan dan kepentingannya.
Padahal bangsa Indonesia yang majemuk ini memerlukan seorang pemimpin yang
mempunyai integritas nasional yang tinggi dan mencintai rakyatnya sehingga
kebijakan-kebijakannya bermuara kepada kepentingan rakyat bukan kepentingan
kelompok tertentu saja. Adanya semangat identitas keagamaan yang berlebihan
pada kelompok masyarakat tertentu dengan kecenderungan mengenyahkan pihak lain
yang berbeda pandangan dan tafsir agama juga memperparah keadaan.
Ditengah kondisi-kondisi Indonesia yang semakin retak akibat lunturnya rasa
kebangsaan dan penghargaan pluralisme yang semakin kandas, apa yang harus
dilakukan oleh gereja untuk memperkokoh persatuan dan kesatuan NKRI? Ini
menjadi pertanyaan penting yang mau tidak mau harus dijawab oleh umat Tuhan,
sehubungan tanggung jawabnya sebagai warga negara dan sebagai pengemban misi
Tuhan seperti yang dimaksudkan pada Yohanes 17:21 yaitu ”bersatu menjadi saksi”
dan Yeremia 29:7 ”mengusahakan kesehteraan kota”.
Dalam
kaitan gerakan oikumene dalam dinamika pluralisme agama di negara Republik Indonesia, menurut Elga J. Sarapung bahwa gereja memiliki 2 tugas
panggilan:
- Gereja dipanggil untuk mengembangkan hubungan positif, kreatif, realistis dan trasnformatif dengan pemerintah dan semua pihak di masyarakat.
- Gereja dipanggil untuk mengambil bagian dalam mewujudkan perdamaian, keadilan (bagi seluruh rakyat dan tanah tumpah darah Indonesia) dan keutuhan ciptaan di Indonesia.
Menurutnya bahwa
permasalahan yang terjadi di negeri ini tidak semata-mata kesalahan dari
pemerintah tatapi juga karena gereja belum mampu menjalankan fungsinya dengan
baik dan maksimal.
Gereja dalam hal ini tidak boleh tinggal diam.
Gereja baik secara sendiri-sendiri dan bersama-sama (oikumene) perlu terus
menyuarakan dan mengingatkan bahwa keadaan yang ada sekarang ini merupakan
ancaman yang serius terhadap NKRI di masa depan. Gereja perlu berupaya agar
usaha-usaha penggantian ideologi Pancasila menjadi ideologi yang lain tidak
menjadi kenyataan, karena ideologi Pancasila sudah final yang mampu menjadi
perekat bagi bangsa Indonesia yang majemuk. Pancasila lahir dari wawasan
kebangsaan dan kebersamaan yang kuat.
Pdt. Fince
Sopamena Latumahina,
Ketua GKSS dalam artikelnya mengatakan bahwa gereja harus berjuang
besatupadu dengan semua orang yang berjuang untuk mempertahankan Pancasila
sebagai dasar dan falsafah negara. Gereja berjuang bersama dengan mereka yang
memiliki keprihatinan yang sama terhadap nasib NKRI.
Eksistensi gereja sebagai terang dan garam
harus lebih nyata bagi Indonesia dan dunia. Eklusifisme harus dikikis dari
kehidupan gereja. Gereja yang hidup adalah gereja yang dinamis, gereja yang
menjadi berkat bagi sekelilingnya. Selama ini peran gereja sebagai terang
sepertinya semakin melemah. Mungkin ini disebabkan karena gereja sudah
lebih banyak melayani diri sendiri, pelayanan yang bersifat internal saja, dan
puas dengan ritual-ritual keagamaan.
Gereja sebagai
elemen bangsa tidak boleh tinggal diam dengan semua permasalahan yang ada.
Persoalan politik, sosial, ekonomi, dan lain-lain haruslah disikapi dengan
bijak dan dicarikan solusinya. Gereja perlu aktif berperan dalam melakukan
transformasi menuju Indonesia yang lebih baik ke depan.
Dalam
hal kemiskinan misalnya, gereja harus berperan. Pdt Dr A.A Yewangoe menyatakan harapannya agar gereja juga peka dan
ikut serta mengatasi problematika kehidupan berbangsa, khususnya menyangkut
masalah kemiskinan, karena gereja juga merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari bangsa Indonesia. “Kemiskinan bukanlah sebuah sebab, tetapi lebih
kepada akibat ketidakadilan dan korupsi. Gereja tidak dapat bekerja sendiri
dalam upaya mengatasi masalah kemiskinan,” tegasnya.
Gereja harus
semakin menyatu dengan keadaan dalam arti dapat melihat dan merasakan persoalan
bangsa, dan berperan nyata terhadap persoalan yang ada ditengah-tengah
masyarakat. Gereja dipanggil bukan semata-mata mengurus dirinya sendiri tetapi
melayani sesama tanpa pandang bulu.
Jemaat-jemaat
gereja harus di dorong dan diajar untuk perduli terhadap orang-orang miskin.
Jemaat bisa diberdayakan dengan saling membantu untuk memperhatikan
keadaan ekonomi anggota-anggota jemaat dan masyarakat. Salah satu upaya kecil
yang mungkin dilakukan adalah dengan memberi pelatihan untuk membuat kerajianan
tangan, bercocok tanam, melatih memanfaatkan lahan sempit, dll.
Dalam mengatasi
masalah kemiskinan yang kompleks, gereja juga perlu bekerja sama dengan
umat agama lainnya dan dengan rendah hati bersama tanpa membedakan suku, agama
dan ras.
Jadi, melihat
realitas yang ada, harapan yang dimiliki, tugas panggilan Allah bagi gereja
untuk bangsa dan dunia, maka umat Tuhan perlu terus beroikumene, bekerja sama
menyuarakan suara kenabian bagi bangsa Indonesia, memikirkan dan mengupayakan
terjadinya persatuan dan kesatuan, keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat
dalam NKRI
B. Tantangan Oikumene
Setidaknya ada 3
masalah utama yang menghambat usaha-usaha penyatuan gereja dan upaya oikumene
yaitu:
- Masalah baptisan. Ada gereja-gereja yang menyetujui baptisan anak dan ada yang menolaknya.
- Masalah perjamuan kudus. Menurut Roma Katolik dan Gereja Ortodoks, dalam Perjamuan Kudus terjadi transubstansiasi. Artinya, roti dan anggur berubah menjadi daging dan darah Yesus. Gereja-gereja Protestan menganggap bahwa roti dan anggur itu merupakan lambang dari tubuh dan darah Yesus.
- Masalah jabatan. Gereja RK, Ortodoks dan Anglikan berpendapat bahwa uskup sebagai pejabat gereja adalah pengganti rasul Petrus. Gereja-gereja Protestan berpendapat bahwa rasul tidak diganti.
Seringkali
hal-hal ini menjadi perdebatan antara gereja-gereja yang tidak sepaham.
Anggapan yang lain tidak alkitabiah dalam pengajaran atau doktrin menjadi
penghalang utama terjadinya oikumene.
No comments:
Post a Comment