BAGAIMANA GEREJA
MEMANDANG PENYALAHGUNA NAPZA
(Narkotika,
Psikotropika & Zat Adiktif lainnya)
Fenomena penyalahgunaan NAPZA
telah menjadi realitas yang sangat pemprihatinkan ditengah-tengah masyarakat
kita dewasa ini, bahkan telah tumbuh menjadi sebuah epidemi kemanusiaan di
Indonesia yang dikenal sebagai negara agamis. Karena fakta-fakta yang muncul di
lapangan menyatakan bahwa NAPZA telah merambah di semua kalangan dari semua
strata sosial yang ada di masyarakat, yang mana mereka semua bukanlah
orang-orang yang tidak beragama. Tidak sedikit diatara mereka penyalahguna
NAPZA adalah mereka yang rajin
menjalankan praktek-praktek keagamaan, bahkan terlibat dalam pelayanan
keagamaan.
NAPZA juga
telah masuk disemua golongan usia, baik usia tua maupun muda, usia dewasa
maupun anak-anak, Usia produktif sampai dengan usia sekolah. Menurut data Badan
narkotika Nasional (BNN), Untuk kategori usia 15 sampai dengan 24 tahun jumlah
korban mencapai 65% dari korban penyalahgunaan NAPZA secara keseluruhan.
Dan diatara
mereka para penyalahguna NAPZA adalah orang-orang Kristen atau warga gereja.
Bahkan tidak sedikit diatara mereka adalah mereka yang aktif dalam aktivitas
kerohanian didalam gereja. Hal inilah yang memprihatinkan kita semua, karena
epidemi kemanusiaan yang bernama NAPZA telah masuk dalam dalam sendi-sendi
gereja dan menggejala dalam praktek hidup sehari-hari jemaat.
Dengan memahami hal tersebut,
rasanya kita harus semakin sadar bahwa masalah penyalahgunaan NAPZA adalah
persoalan besar. Dan hal ini menantang bagi kita orang percaya sebagai “gereja”
Tuhan untuk tidak hanya berpangku tangan dengan nyaman dibalik “tembok gereja” yang telah dilembagakan,
sementara epidemi kemanusiaan telah menggerogoti sendi-sendi gereja.
Dan kemudian
timbul satu pertanyaan kita bersama apabila melihat fenomena penyalahgunaan
NAPZA telah mulai merusak sendi-sendi gereja. Pertanyaan tersebut adalah, apakah fungsi gereja hadir didunia ini
apabila kita sebagai “gereja” hanya diam menjadi penonton dan merasa aman serta
nyaman berlindung dibalik gereja yang telah dilembagakan, sedangkan epidemi
kemanusiaan yang bernama NAPZA tengah berlangsung dan telah mulai merusak
sendi-sendi gereja itu sendiri?
Jawaban yang
mudah bagi jemaat gereja yang tidak terlibat dalam penyalahgunaan NAPZA ini
adalah, “yang penting bukan saya, bukan anak-anak saya, bukan keluarga saya”.
Apakah jawaban kita juga seperti itu?
Apabila kita
menyatakan diri sebagai pengikut Kristus, maka sepatutnya kita melihat para
penyalahguna NAPZA ini dalam “kacamata rohani”, bahwa mereka pada prinsipnya
adalah domba-domba Allah yang sedang tersesat dan matanya telah dibutakan
dengan ilah-ilah yang muncul pada jaman modern ini. Maka sudah menjadi
kewajiban kita bersama sebagai “gereja” Tuhan untuk menjadi kepanjangan tangan
Allah, mencari dan membimbing mereka untuk kembali ke jalan Tuhan.
Apabila kita sadar untuk
terlibat dalam salah satu permasalahan bangsa kita ini, yang juga terbukti
telah merambah dalam diri jemaat Tuhan didalam gereja. Maka kita dapat
memulainya dengan memperbaiki cara pandang kita terhadap mereka para
penyalahguna NAPZA ini.
Bagaimana kita memandang permasalahan NAPZA
ini?
Seringkali
kita dan juga kaum profesional dalam bidang kesehatan terjebak dalam paradikma
bahwa penyalahgunaan NAPZA adalah tidak lebih dari kasus medis belaka. Dan
sebagai kasus medis, maka penyalahguna NAPZA diposisikan sebagai pasien yang
menjadi obyek prosedur medis, yaitu orang yang sakit diobati supaya sembuh.
Demikian
juga dengan kaum profesional dalam bidang hukum terjebak dalam satu penilaian
bahwa penyalahguna NAPZA adalah para
pelanggar hukum, dan karenanya mereka harus dihukum sesuai dengan prosedur
hukum.
Tetapi
permasalahan penyalahgunaan NAPZA tidak sesederhana itu.
Kasus
penyalahgunaan NAPZA seperti “gunung es ditengah lautan” yang hanya nampak
sebagian kecil saja yaitu bagian atasnya. Sedangkan permasalahan penyalahgunaan
NAPZA mempunyai akar permasalahan yang rumit dan kompleks yang teranyam dalam
jaring-jaring kehidupan manusia itu sendiri. Kasus penyalahgunaan NAPZA
memiliki hubuangan kausalitas (sebab-akibat) dengan krisis multi dimensi umat
manusia. Baik krisis mental kepribadian, krisis spiritual, krisis moral, krisis
sosial, dan krisis hukum, dsb. Dan hal itu berarti kasus penyalahgunaan NAPZA
tidak dapat dilepaskan dengan situasi dan kondisi yang melatarbelakangi para
penyalahguna NAPZA tersebut.
Demikian
pula dampak yang ditimbulkan oleh penyalahguna NAPZA juga meliputi seluruh
aspek kehidupan, baik secara fisik, mental, spiritual dan sosial.
Jadi cara pandang kita terhadap
penyalahgunaan NAPZA iniharus menyeluruh dan utuh (holistik).
Masalah penyalahgunaan NAPZA
bukan hanya persoalan pelanggaran hukum Tuhan karena mabuk-mabukan, kasar,
kejahatan, pesta pora, perzinahan, dan lain sebagainya sebagai perbuatan daging
(Galatia 5:19-21) yang berakibat pada hilangnya hak kewarganegaraan surga (1
Korintus 6: 10) “pencuri, orang kikir, pemabuk,
pemfitnah dan penipu tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah.”
Bukan juga
permasalahan ocultisme, dimana iblis mempengaruhi manusia dengan tawaran
kenikmatan semu dari NAPZA yang membuat orang terbius dan kehilangan kesadaran,
berkepribadian ganda dan menentang kebenaran (Markus 5:1-13).
Permasalahan penyalahgunaan NAPZA adalah
menyangkut makna hidup dan hakikat hidup manusia itu sendiri.
Antropologi
Yahudi memandang manusia sebagai satu kesatuan yang utuh antara jiwa dan tubuh.
Penggunaan istilah ruakh (roh), nefesy (jiwa), dan bazar (daging/tubuh) tidak bermaksud hendak menggambarkan
manusia yang terpecah-pecah, tetapi lebih diarahkan untuk menggambarkan manusia
sebagai satu pribadi dalam keseluruhan eksistensinya. Demikian juga pandangan
rasul Paulus yang dipengaruhi oleh helenisme
menggambarkan manusia dengan istilah psuke
(nyawa), pneuma (roh), kardia (hati), nous (akalbudi), sunaidesis
(hati nurani), esoantropos (manusia
batin), soma (tubuh), dan sarx (daging/keinginan jahat)
menggambarkan manusia sebagai satu kesatuan pribadi yang utuh, walaupun
memiliki banyak eksistensi dalam dirinya.
Hal inilah
yang jelas membedakan anatar manusia dengan binatang atau ciptaan Tuhan yang
lainnya. Sekalipun manusia dicipta Allah dari debu tanah, tetapi ia menerima
hidup dari Nefesy Allah (Kejadian
2:7) dan berpredikan sebagai Imago Dei
atau gambar Allah (Kejadian 1:27). Hal inilah yang menjadi makna hidup
manusia yang diciptakan dalam keutuhannya supaya dapat menjadi mitra Allah yang
mengemban amanat budaya dari Allah (Kejadian 1:28) untuk melestarikan bumi dan
segenap apa yang ada didalamnya termasuk manusia itu sendiri, guna mewujudkan
kerajaan Allah dibumi.
Tetapi
ternyata pada kenyataannya manusia telah merusaknya, termasuk manusia telah
merusak dirinya sendiri sebagai Imago Dei,
sehingga kemudian gagal untuk menjadi mitra Allah yang baik.
Itulah sebabnya,
Allah melaui pribadi Yesus Kristus telah berkenan hadir didunia untuk
mengembalikan manusia pada keutuhannya, Yohanes
10:10b “....Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam
segala kelimpahan.”
Kedatangan Tuhan Yesus kedunia
menurut Injil Yohanes 10:10 ini adalah, supaya manusia yang telah jatuh dalam
dosa dapat kembali hidup dalam segala kelimpahan Allah. Ini adalah cara pandang
holistik atau keutuhan yang berpusat pada Roh Kudus. Dan dengan cara pandang
misi Tuhan Yesus yang demikian, maka kita akan dapat memahami tentang kerajaan
surga yang diserukan oleh Yohanes Pembabtis tentang kedatangan Tuhan Yesus, "Bertobatlah, sebab Kerajaan Sorga
sudah dekat!"(Matius 3:2). Dan kemudian dipertegas oleh Tuhan Yesus
sendiri saat mengawali pelayananNya, “Sejak
waktu itulah Yesus memberitakan: "Bertobatlah, sebab Kerajaan Sorga sudah
dekat!" (Matius 4:17).
Tuhan Yesus
bukan hanya melayani dengan mengabarkan Injil saja, tetapi juga mewujudnyatakan
pengajaranNya dengan tindakan, pembebasan, dan pemberdayaan. Tuhan Yesus tidak
hanya menyampaikan kebenaran Allah dengan kata-kata, tetapi juga menyentuh
seluruh aspek hidup manusia sesuai dengan kebutuhannya.
Kepada yang
sakit, Tuhan Yesus memberikan kesembuhan. Kepada yang berdosa, Tuhan yesus memberikan
pengampunan. Kepada yang kelelahan dan putus asa, Tuhan Yesus memberikan
semangat dan dorongan. Kepada yang jiwanya kering dan rohaninya haus akan
kebenaran, Tuhan Yesus memberikan “air kehidupan”. Kepada yang lapar, Tuhan
Yesus memberi makan. Kepada yang tersisih, Tuhan Yesus memberikan kasih sayang,
dll. Seluruh pelayanan Tuhan Yesus
ditujukan untuk menyelamatkan manusia dan seluruh aspek kehidupannya. Melalui
hidup, pelayanan sampai dengan kematianNya, Tuhan Yesus hendak menciptakan Syallom Lukas 4:18-19,
"Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia
telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin;
dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang
tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang
yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang."
Dan
kedatangan Tuhan Yesus kedunia bukan untuk menghukum manusia, tetapi hendak
meyelamatkan manusia yang terhilang daripadaNya karena dosa-dosanya.
Inilah dasar
pastoral yang harus digunakan dasar untuk memberikan bimbingan pastoral bagi
para penyalahguna NAPZA ini.
Para penyalahguna NAPZA pada
dasarnya adalah domba-domba Allah yang terhilang/tersesat, terjerat dan
terjerumus dalam kegelapan, yang sesungguhnya dia sendiri tidak berdaya untuk
melihat kembali ke jalan yang terang. Mereka adalah orang-orang yang telah
kalah dalam pertarungan dalam mempertaruhkan hidup sebagai “gambar Allah”.
Mereka adalah orang-orang yang tidak berdaya melawan kuasa jahat yang mencengkeram.
Mereka adalah orang-orang yang telah dibutakan perihal hidup yang benar. Mereka
adalah orang-orang yang telah terjerumus dalam kehidupan yang semu. Dan mereka
adalah orang-orang yang telah tersesat dalam belantara kehidupan manusia modern
saat ini dan tidak pernah tahu harus berbuat apa dan bagaimana.
Tugas
pelayanan Tuhan Yesus yang hendak menciptakan syallom (Lukas 4: 18-19) inilah yang seharusnya diteladani oleh
setiap orang yang mengaku sebagai “murid Kristus”. Dan sebagai murid Kristus,
kita harus dapat melanjutkan tugas pelayanan Kristus didunia ini untuk mencari
dan menyembuhkan “domba-domba” Allah yang tersesat dan terluka. Serta
menunjukkan jalan terang kepada mereka, serta memberikan pemahaman akan makna
penciptaan dalam terang yang baru.
Sudah
siapkah “gereja-gereja” Tuhan untuk itu? (JAP)
No comments:
Post a Comment